Selasa, 16 Mei 2017

JURNAL TERKAIT DENGAN KEBUTUHAN MASYARAKAT DUNIA INTERNASIONAL TERHADAP AKUNTANSI SYARIAH

Akuntansi syari’ah dan akuntansi konvensional merupakan sifat akuntansi yang diakui oleh masyarakat ekonomi secara umum. Keduanya merupakan hal yang tidak terpisahkan dari masalah ekonomi dan informasi keuangan suatu perusahaan atau sejenisnya. Untuk membedakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah dalam akuntansi syari’ah dan akuntansi konvensional, dapat diuraikan sebagai berikut :
A.      Akuntansi Syari’ah
1.        Keaadaan entitas didasarkan pada bagi hasil.
2.        Kelangsungan usaha tergantung pada persetujuan kontrak antara kelompok yang terlibat dalam aktivitas bagi hasil.
3.         Setiap tahun dikenai zakat, kecuali untuk  pertanian yang dihitung setiap panen.
4.        Menunjukkan pemenuhan hak dan kewajiban kepada Allah SWT, masyarakat dan individu.
5.        Berhubungan erat dngan konsep ketaqwaan, yaitu pengeluaran materi maupun non-materi untuk memenuhi kewajiban.
6.        Berhubungan dengan pengukuran dan pemenuhan tugas atau kewajiban kepada Allah AWT, masyarakat dan individu.
7.        Pemilihan teknik akuntansi dengan memperhatikan dampak baik buruknya pada masyarakat.
B.       Akuntansi Konvensional
1.        Entitas dipisahkan antara bisnis dan pemilik.
2.        Kelangsungan bisnis secara terus menerus, yaitu didasarkan pada realisasi aset.
3.        Periode akuntansi tidak dapat menunggu sampai akhir kehidupan perusahaan dengan mengukur keberhasilan aktivitas perusahaan.
4.        Bertujuan untuk pengambilan keputusan.
5.        Reabilitas pengurang digunakan dengan dasar pembuatan keputusan
6.        Dihubungkan dengan kepentingan relatif mengenai informasi pembuatan keputusan.
7.        Pemilihan teknik akuntansi yang sedikit berpengaruh pada pemilik.
Perkembangan awal akuntansi syariah
Dari sisi ilmu pengetahuan, akuntansi merupakan ilmu yang mencoba untuk mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya dan laba. Kaidah dalam konsep syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar – dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber- sumber syariah Islam lalu digunakan sebagai aturan akuntan dalam pekerjaannya.
Dalam penyusunan akuntansi Islam kemungkinan ada persamaan dengan akuntansi konvensional khususnya dalam teknik dan operasionalnya. Seperti dalam bentuk pemakaian buku besar, sistem pencatatan, proses penyusunan bisa sama. Namun perbedaan akan kembali mengemuka ketika membahas subtansi dari isi laporannya, karena berbedanya filosofi.
Sejarah lahirnya ilmu akuntansi syariah tidak terlepas dari perkembangan Islam, kewajiban mencatat transaksi non tunai (QS. Al-Baqarah: 282), mendorong umat islam peduli terhadap pencatatan dan menimbulkan tradisi pencatatan di kalangan umat, dan hal ini merupakan salah satu faktor yang mendorong kerjasama waktu itu.
Begitu juga dengan kewajiban mengeluarkan zakat mendorong pemerintah membuat laporan pertanggungjawaban periodik terhadap baitul maal yang mereka kelola, begitu juga dengan pengusaha-pengusaha muslim pada waktu itu, mengklasifikasikan hartanya sesuai ketentuan zakat dan membayarkan zakatnya jika telah memenuhi ketentuan nisab dan haul. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan).
Sejarah membuktikan bahwa Ilmu Akuntansi telah lama dipraktekkan dalam dunia islam, seperti istilah jurnal (dahulu zornal), telah lebih dahulu digunakan pada zaman khalifah islam dengan istilah “jaridah” untuk buku catatan keuangan.  Begitu juga dengan double entry yang ditulis oleh Luca Pacioli. Dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal sistem akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.
Negara Madinah merupakan letak awal perkembangan Islam yaitu pada tahun 622 M atau tahun 1 H. Hal ini didasari oleh konsep bahwa seluruh muslim adalah bersaudara sehingga kegiatan kenegaraan dilakukan secara gotong royong atau kerja sama dan Negara tersebut tidak memiliki pemasukan dan pengeluaran. Bentuk sekertariat didirikan akhir tahun 6 H Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai kepala Negara dan juga sebagai ketua Mahkama Agung. Mufti besar dan panglima perang tertinggi bertindak sebagai penanggung jawab administrasi Negara.
Pada abad ke 7 Rasulullah SAW mendirikan Baitul Maal. Fungsinya sebagai penyimpanan ketika adanya pembayaran wajib zakat dan usur (pajak pertanian dari muslim) dan adanya perluasan wilayah atau jizia yaitu pajak perlindungan dari non muslim, dan juga adanya kharaj yaitu pajak pertanian dari non muslim.
Akuntansi syariah pertama kali di terapkan Perbankan Islam pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel Islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Perintisnya adalah Ahmad El Najjar. Sistem pertama yang dikembangkan adalah mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba / bagi hasil) pada tahun 1963. Kemudian pada tahun ’70-an, telah berdiri setidaknya 9 bank yang tidak memungut usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Konferensi Negara-negara Islam sedunia yang dileselenggarakan tanggal 21-27 April 1969 di Kuala Lumpur menghasilkan beberapa keputusan yang terkait dengan perkembangan bank Islam dunia. Dan dengan beberapa pertemuan OKI, pertumbuhan bank Islam mulai tampak cepat tahun 1980-an, terutama di Negara-negara timur tengah dan beberapa Negara eropa. Secara umum lembaga keuangan Islam secara internasional diklasifikasikan menjadi dua yaitu bank komersia (Islamic commercial Bank) dan lembaga investasi dalam bentuk International Holding Company. Pada tahun 1984 telah berkembang 5 bank Islam di Negara non muslim (Inggris, Swiss, Cyprus, Luxemburg, dan Denmark), dan 23 bank Islam di Negara-negara Islam.
Perkembangan bank Islam ini telah menarik minat bank – bank konvensional untuk menawarkan produk syariah. Produk Islamic Windows yang ditawarkan dari Malaysia, Islamic Transaction dari cabang bank Mesir dan Islamic services di cabang bank perdagangan Arab Saudi.
Baru kemudian berdiri Islamic Development Bank pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, yang menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara anggotanya dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah Islam.
Kemudian setelah itu, secara berturut-turut berdirilah sejumlah bank berbasis Islam antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979) Phillipine Amanah Bank (1973) berdasarkan dekrit presiden, dan Muslim Pilgrims Savings Corporation (1983).
Akuntansi pertama kali dikenal di Indonesia sekitar tahun 1960an, sementara akuntansi  konvensional yang kita pahami dari berbagai literature menyebutkan bahwa akuntansi pertama kali berkembang di Italia dan dikembangkan oleh Lucas Pacioli (1494). Pemahaman ini sudah mendarah daging pada masyarakat akuntan kita. Olehnya itu, ketika banyak ahli yang mengemukakan pendapat bahwa akuntansi sebenarnya telah berkembang jauh sebelumnya dan di mulai di arab, akan sulit diterima oleh masyarakat akuntan.
Perkembangan akuntansi syariah beberapa tahun terakhir sangat meningkat ini di tandai dengan seringnya kita menemukan seminar, workshop, diskusi dan berbagai pelatihan yang membahas berbagai kegiatan ekonomi dan akuntansi Islam, mulai dari perbankan, asuransi, pegadaian, sampai pada bidang pendidikan semua berlabel syariah.
Namun dokumen tertulis yang menyiratkan dan mencermikan proses perjuangan perkembangan akuntansi syariah masih sangat terbatas jumlahnya. Demikian pula dengan sejarah perkembangan akuntansi syariah di Indonesia. Kekurang tertarikan banyak orang terkait masalah ini, baik sebagai bagian dari kehidupan penelitian maupun sebagai sebuah ilmu pengetahuan menjadikan sejarah akuntansi syariah masih sangat minim di temukan.
Bank syariah sebagai landasan awal perkembangan akuntansi syariah.
Perkembangan akuntansi syariah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari proses pendirian Bank Syariah. Pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) merupakan landasan awal diterapkannya ajaran Islam menjadi pedoman bermuamalah. Pendirian ini dimulai dengan serangkaian proses perjuangan sekelompok masyarakat dan para pemikir Islam dalam upaya mengajak masyarakat Indonesia bermuamalah yang sesuai dengan ajaran agama. Kelompok ini diprakarsai oleh beberapa orang tokoh Islam, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada waktu itu, sekitar tahun 1990-1991.
Berdirinya bank syariah tentunya membutuhkan seperangkat aturan yang tidak terpisahkan, antara lain, yaitu peraturan perbankan, kebutuhan pengawasan, auditing, kebutuhan pemahaman terhadap produk-produk syariah dan Iain-Iain. Dengan demikian banyak peneliti yang meyakini bahwa kemunculan kebutuhan, pengembangan teori dan praktik akuntansi syariah adalah karena berdirinya bank syariah. Pendirian bank syariah adalah merupakan salah satu bentuk implementasi ekonomi Islam.
Dengan demikian, berdasarkan data dokumen, dapat diinterpretasikan bahwa keberadaan sejarah pemikiran tentang akuntansi syariah adalah setelah adanya standar akuntansi perbankan syariah, setelah terbentuknya pemahaman yang lebih konkrit tentang apa dan bagaimana akuntansi syariah, dan terbentuknya lembaga-lembaga yang berkonsentrasi pada akuntansi syariah. jadi secara historis, sejak tahun 2002 barulah muncul ide pemikiran dan keberadaan akuntansi syariah, baik secara pengetahuan umum maupun secara teknis. Sebagai catatan, IAI baru membentuk Komite Akuntansi Syariah di Indonesia.
Pada tahun 2007, terdapat setidaknya 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.
Sektor syariah yang sedang berkembang adalah transaksi investasi syariah dan sektor keuangan non-bank  Transaksi ini terus mengalami peningkatan, diantaranya : Obligasi Syariah (Sukuk), Pasar Modal Syariah, Dana Pensiun Syariah, Pendanaan Proyek Syariah, Real Estat Syariah. 
Semoga materi yang saya ulas ini dapat menjadi informasi yang bermanfaat untuk kawan - kawan sekalian. Mohon maaf atas kekurangan isi artikel saya, apabila tidak membahas secara mendetail.
Referensi :
http://banking.blog.gunadarma.ac.id/2010/03/31/perkembangan-perbankan-syariah-di-indonesia-dan-dunia/

Minggu, 16 April 2017

PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN ATAS PENGUNGKAPAN DAN PELAPORAN SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PENGGUNA TERUTAMA MANAJER

A. Perkembangan Pengungkapan

Perkembangan sistem pengungkapan sangat berkaitan dengan perkembangan sistem akuntansi. Standar dan praktik pengungkapan dipengaruhi oleh sumber-sumber keuangan, sistem hukum, ikatan politik dan ekonomi, tingkat pembangunan ekonomi, tingkat pendidikan, budaya, dan pengaruh lainnya. 

Di pasar-pasar tersebut, kepemilikan cenderung tersebar luas di antara banyak pemegang saham dan perlindungan terhadap investor sangat ditekankan. Investor institusional memainkan peranan yang semakin penting di negara-negara ini, menuntut pengembalian keuangan dan nilai pemegang saham yang meningkat.

Di amerika Serikat, Inggris Raya dan Anglo-Amerika lainnya, ekuitas pasar paling berjasa dalam menyediakan keuangan bagi perusahaan dan menjadi sangat maju, Sedangkan di negara-negara seperti Perancis, Jerman, Jepang dan berbagai negara dengan pasar yang baru muncul, pemegang saham tetap berkonsentrasi dan bank secara tradisional telah menjadi sumber keuangan utama perusahaan.

B. Pengungkapan Sukarela

Beberapa studi menunjukkan bahwa manajer memiliki dorongan untuk mengungkapkan informasi secara sukarela. Manfaat dari pengungkapan yang sukarela adalah biaya transaksi yang lebih rendah dalam memperdagangkan surat berharga yang dikeluarkan, minat para analis keuangan dan investor terhadap perusahaan yang semakin besar, likuiditas saham yang meningkat, dan biaya modal yang lebih rendah. Dalam laporan terakhir, Badan Standar Akuntansi Keuangan (FASB) menjelaskan sebuah proyek FASB mengenai pelaporan bisnis yang mendukung pandangan bahwa perusahaan akan mendapatkan manfaat pasar modal dengan meningkatkan pengungkapan sukarelanya. 

Laporan ini berisi panduan mengenai bagaimana perusahaan dapat menggambarkan dan menjelaskan potensi investasinya kepada para investor.

Karena investor diseluruh dunia menuntut informasi yang lebih detail dan lebih tepat waktu, tingkat pengungkapan sukarela semakin meningkate baik di negara-negara dengan pasar yang sudah maju maupun pasar-pasar yang masih berkembang. 

Sejumlah aturan, seperti aturan akuntansi dan pengungkapan serta pengesahan oleh pihak ketiga dapat memperbaiki fungsi pasar. Aturan akuntansi mencoba mengurangi kemampuan manajer dalam mencatat transaksi-transaksi ekonomi dengan cara yang tidak mewakili kepentingan terbaik pemegang saham. Aturan pengungkapan menetapkan ketentuan-ketentuan untuk memastikan bahwa para pemegang saham menerima informasi tepat waktu, lengkap dan akurat. Auditor eksternal mencoba untuk memastikan bahwa manajer menerapkan kebijakan akuntansi dan system pengendalian yang memadai serta memberikan pengungkapan yang diwajibkan tepat pada waktunya.

Meskipun mekanisme ini sangat mempengaruhi praktik yang ada, kadang-kadang para manajer menyimpulkan bahwa manfaat dari ketidaksesuaian dengan ketentuan pelaporan, seperti harga saham yang tinggi karena laba yang dinaikkan melebihi biayanya yang berakibat hukuman pidana dan perdata jika ketidaksesuaian tersebut diketahui dan dilaporkan. 

C. Praktik Pelaporan dan Pengungkapan

Aturan pengungkapan sangat berbeda di seluruh dunia dalam beberapa hal seperti laporan arus kas dan perubahan ekuitas, transaksi pihak terkait, pelaporan segmen, nilai wajar aktiva dan kewajiban keuangan serta laba persaham. Pada bahasan praktik pelaporan dan pengungkapan akan dipusatkan pada:

1. Pengungkapan informasi yang melihat masa depan. Pengungkapan Informasi yang melihat masa depan, mencakup:

a. Ramalan pendapatan, laba rugi, labarugi per saham (EPS), pengeluaran modal, dan pos keuangan lainnya.

b. Informasi prospektif mengenai kinerja atau 
posisi ekonomi masa depan yang tidak terlalu pasti bila dibandingkan dengan proyeksi pos, periode fiskal, dan proyeksi jumlah.

c. Laporan rencana manajemen dan tujuan operasi di masa depan.

Sebagai contoh adalah Bursa Efek Tokyo TSE meminta kepada manajemen perusahaan yang tercatat untuk menyediakan ramalan penjualan, laba dan deviden dalam pengumuman pertahunan dan semesteran yang dilakukan.

2. Pengungkapan Segmen
Permintaan investor dan analis akan informasi mengenai hasil operasi dan keuangan segmen industri tergolong signifikan dan semakin meningkat. Contoh, para analis keuangan di Amerika secara konsisten telah meminta data laporan dalam bentuk disagregat yang jauh lebih detail dari yang ada sekarang. Standar Pelaporan Keuangan Internasional (IFRS) juga membahas pelaporan segmen yang sangat mendetail. Laporan ini membantu para pengguna laporan keuangan untuk memahami secara lebih baik bagaimana bagian-bagian dalam suatu perusahaan berpengaruh terhadap keseluruhan perusahaan.

3. Laporan Arus Kas dan Arus Dana
IFRS dan standar akuntansi di Amerika Serikat, Inggris, dan sejumlah besar negara-negara lain mengharuskan penyajian laporan arus kas. Adopsi ketentuan laporan arus kas baru-baru ini di negara-negara seperti Jepang, Cina mencerminkan semakin pentingnya perhatian oleh para analis dan para pengguna laporan keuangan terhadap informasi arus kas.

4. Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial
Pelaporan tanggung jawab sosial mengacu pada pengukuran dan komunikasi informasi mengenai pengaruh suatu perusahaan terhadap kesejahteraan karyawannya, masyarakat setempat dan lingkungan. Hal ini mencerminkan kepercayaan bahwa perusahaan berutang kepada para pihak yang berkepentingan dalam bentuk laporan akuntansi tahunan mengenai kinerja sosial dan lingkungannya, 

5. Pengungkapan Khusus Bagi Para Pengguna Laporan Keuangan Nondomestik dan atas Prinsip Akuntansi yang Digunakan. Laporan keuangan dapat berisi pengungkapan khusus untuk mengakomodasi para pengguna laporan keuangan nondomestik. 

Pengungkapan yang dimaksud seperti:
a. Penyajian ulang untuk kenyamanan 
informasi keuangan ke dalam mata uang 
nondomestik. 

b. Penyajian ulang hasil dan posisi keuangan secara terbatas menurut kelompok kedua   
standar akuntansi.

c. Satu set lengkap laporan keuangan yang disusun sesuai dengan kelompok kedua standar akuntansi dan beberapa pembahasan mengenai perbedaan antara prinsip akuntansi yang banyak digunakan dalam laporan keuangan utama dan beberapa set prinsip akuntansi yang lain.

D. Pengungkapan Laporan Tahunan di Negara-Negara dengan Pasar Baru Muncul

Pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan dari negara dengan pasar yang baru muncul biasanya kurang luas dan kurang dapat dipercaya daripada perusahaan dari negara berkembang. Tingkat pengungkapan yang rendah di negara-negara pasar berkembang tersebut konsisten dengan sistem tata kelola perusahaan dan keuangan di negara tersebut.

Pasar ekuitas tidak terlalu berkembang, bank dan pihak internal seperti kelompok keluarga menyalurkan kebanyakan kebutuhan pendanaan dan secara umum tidak terlalu banyak membutuhkan adanya pengungkapan publik yang kredibel dan tepat waktu, bila dibandingkan dengan perekonomian yang lebih maju.

Namun demikian, permintaan investor atas informasi mengenai perusahaan yang tepat waktu dan kredibel di negara-negara pasar berkembang mengakibatkan semakin banyaknya regulator yang memberikan respons dengan membuat ketentuan pengungkapan yang lebih ketat dan meningkatkan upaya-upaya pengawasan serta penegakan aturan.


E. Implikasi Bagi Pengguna Laporan Keuangan dan Manajer

Para manajer dari banyak perusahaan sangat dipengaruhi oleh biaya pengungkapan informasi yang bersifat wajib, tingkat pengungkapan wajib maupun sukarela semakin meningkat di seluruh dunia. Manajer di negara-negara yang secara tradisional memiliki pengungkapan rendah harus mempertimbangkan apakah dengan menerapkan kebijakan peningkatan pengungkapan dapat memberikan manfaat dalam jumlah yang signifikan bagi perusahaan mereka. 

Lagipula, para manajer yang memutuskan untuk memberikan pengungkapan yang lebih banyak dalam bidang-bidang yang dipandang penting oleh para investor dan analis keuangan, seperti pengungkapan segmen dan rekonsiliasim yang dapat memberikan keunggulan kompetitif dari perusahaan lain yang memiliki kebijakan pengungkapan yang ketat. 

Sumber: http://diah17.blogspot.co.id/2015/04/materi-4-pelaporan-dan-pengungkapan.html


Selasa, 21 Maret 2017

Pengaruh inflasi terhadap kinerja keuangan

PENGARUH INFLASI TERHADAP KINERJA PEMBIAYAAN BANK SYARIAH, VOLUME PASAR UANG ANTAR BANK SYARIAH, DAN POSISI OUTSTANDING SERTIFIKAT WADIAH BANK INDONESIA

Saekhu


Abstrak
Berdasarkan pengujian yang menggunakan metode Vector Autoregression (VAR) ternyata variabel INF mempunyai pengaruh positif terhadap variabel FDR, NPF, VPUAS dan OSWBI. Berikut dijelaskan beberapa intisari dari hasil pengujian  penelitian ini. Inflasi berpengaruh positif terhadap Financing to Depocit Ratio (FDR), volume transaksi Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syariah (VPUAS) dan posisioutstanding Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (OSWBI). Meskipun demikian pengaruhnya sangat kecil, tidak signifikan dan hanya berlangsung dalam jangka pendek saja. Bahkan variabel-variabel tersebut lebih dipengaruhi oleh kinerjanya di masa lalu.Tidak signifikannya pengaruh variabel INF terhadap variabel FDR, dan VPUAS disebabkan masih kecilnya kedudukan perbankan syariah sebagai faktor yang dapat mempengaruhi peredaran uang di Indonesia.


Keywords: Inflasi, Pembiayaan Bank Syariah, Pasar Uang, Wadiah

Pendahuluan
Salah satu faktor yang mengganggu‟ pertumbuhan ekonomi Indonesia selama   ini   adalah   faktor   inflasi.   Dalam   jangka   pendek  inflasi bisa menguntungkan bagi produsen karena akan menaikkan tingkat harga sehingga produsen  akan  meningkatkan  produksinya.   Tetapi, masalahnya  inflasi  di Indonesia  sangatlah  kompleks,   tinggi   dan   tidak stabil. Soegiharso dan Gitaharie, menunjukkan bahwa inflasi pada tingkat tertentu  (di  bawah  nilai treshold)  ,  diperlukan  untuk  mendorong pertumbuhan   ekonomi.  Dalam kebijakan moneter di Indonesia, kenaikan tingkat inflasi akan direspon oleh otoritas moneter dengan mengeluarkan kebijakan moneter yang bersifat kontraktif seperti menaikkan tingkat suku bunga SBI. Sehingga perbankan konvensional dapat menanamkan dananya ke dalam SBI dengan tingkat bunga yang tinggi tanpa risiko yang tinggi.
Meskipun inflasi dapat menurunkan pemberian kredit ke sektor riil, kalangan perbankan (konvensional) tetap dapat meraih pendapatan yang tinggi dari bunga SBI. Keadaan ini berbeda dengan keadaan perbankan syariah. Bank syariah adalah lembaga keuangan yang tidak mengenal bunga sebagai pendapatannya. Sehingga perbankan syariah tidak dapat menempatkan likuiditasnya ke dalam SBI. Bahkan tingkat bonus Sertifikat wadiah Bank Indonesia (SWBI) jauh lebih rendah dari pada tingkat bunga SBI.
Pengaruh kebijakan moneter konvensional terhadap perbankan syariah ditemukan bahwa padakontraksi moneter berupa kenaikan suku bunga SBI akan mengakibatkan pengurangandeposito, penurunan pembiayaan, serta pengurangan likuiditas perbankan syariah. Dalam menghadapi tingkat inflasi, perbankan syariah menghadapi dua masalahutama yaitu, pertama, dari sisi penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK). Kenaikan tingkat inflasi akan meningkatkan suku bunga deposito. Sehingga suku bunga deposito di perbankankonvensional lebih tinggi dan menarik daripada return dari  perbankan syariah. Return yang lebih tinggi di perbankan konvensional akan meningkatkan displacement atau pengalihan dana yang besar dari perbankan syariah ke perbankan konvensional. Biasanya yang melakukan displacement ini adalah nasabah korporasi. Penurunan (pertumbuhan) DPK ini akan mengurangi kemampuan bank syariah dalam mengelola likuiditasnya untuk meningkatkan pendapatan karena penurunan DPK akan menyebabkan penurunan lending capacity (Total liabilities dikurangi Giro Wajib Minimum, Cash in vault dan modal).1 Permasalahan yang kedua muncul dari sisi pembiayaan. Bagi dunia usaha, sebagai produsen barang dan jasa, inflasi dapat tmenguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi dari  pada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya. Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya

1 Juda Agung, dkk, Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis: Fakta, Penyebab, dan Implikasi Kebijakan, Jakarta: Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, 2001, hlm. 19.



produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu, bahkan bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, produsen bisa mengalami kerugian usaha. Sehingga akan berdampak pada kinerja keuangannya yang menurun.
Dampak inflasi lebih lanjut akan menyebabkan tingginya risiko default. Risiko ini akan meningkatkan Non Performing Financing (NPF) perbankan  syariah. Jika pembiayaannya berdasarkan akad bagi hasil dimana jika pihak debitor mengalami kerugian usaha maka kerugian ini juga ditanggung oleh bank syariah (risk sharing). Jika jenis pembiayaannya adalah akad jual beli (murabahah) maka tingginya inflasi dapat membuat produk pembiayaan  syariah secara umum menjadi relatif lebih mahal.
Tingginya risiko pembiayaan (dan atau lemahnya absorpsi sektor riil) akan menyebabkan perbankan syariah bisa mengurangi penyaluran dana ke sektor riil. Sehingga perbankan syariah akan menempatkan kelebihan likuiditasnya ke dalam SWBI atau Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA) di Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS). Pemindahan portofolio ke dalam PUAS dan SWBI merupakan cerminan darisifat bisnis perbankan syariah di Indonesia yang masih risk averse.
Oleh karena itu berdasar perspektif di atas, akan mencoba menganalisis seberapa besar pengaruh gejolak inflasi terhadap kinerja likuiditas perbankan syariah dalam hal pembiayaan (FDR dan NPF) dan penempatan dana di dalam PUAS dan SWBI. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh inflasi terhadap tingkat Financing to Depocit Ratio  (FDR) perbankan Syariah, tingkat Non Performing Financing (NPF) perbankan syariah, volume transaksi Pasar Uang Antar BankSyariah (PUAS), dan posisi outstanding Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).


Inflasi
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan beberapa komoditi saja tidak disebut inflasi,  kecuali  bila  kenaikan  tersebut  meluas  kepada  atau   mengakibatkan



kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain. Keadaan harga yang terusmenerus berarti bahwa kenaikan harga-harga karena bersifat musiman  atau sesekali saja atau tidak mempunyai pengaruh lanjut tidak disebut inflasi.
Indikator inflasi adalah ukuran yang digunakan untuk menghitung nilaiinflasi untuk mengetahui tingkat inflasi pada waktu tertentu.Indikator inflasiumumnya dihitung dengan menggunakan angka indeks sekelompok harga barang danjasa.Secara umum ada tiga indikator inflasi yaitu IHK, IHPB dan PDB deflator.Pada skripsi ini indikator yang digunakan adala IHK.IHK pada umumnya digunakan untuk mengukur perubahan harga (pricechanges), biaya hidup (cost of living), daya beli (purchasing power) dan tingkat inflasi (general measure of inflation). Penjelasan penggunaan inflasi IHK dijabarkan sebagai berikut:
·           Sebagai alat ukur perubahan harga (Price Changes), IHK digunakan untuk mengukur perubahan harga dari sekelompok atau sekeranjang barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga.
·           Sebagai alat ukur biaya hidup (Cost of Living), IHK digunakan untuk mengukur perubahan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan sekelompok barang dan jasa yang memberikan tingkat kepuasan yang sama, sejalan dengan perubahan preferensi rumah tangga.
·           Sebagai alat ukur daya beli (Purchasing Power), IHK adalah indikator untuk mengukur seberapa banyak barang dan jasa yang dapat dibeli dari sejumlah uang tertentu.
·           Sebagai alat ukur inflasi (general measure of inflation), IHK mengukur perubahan harga dalam suatu perekonomian.
Di Indonesia, IHK digunakan sebagai indikator untuk mengukur perkembanganhargasecara umum.


Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
Undang-undang No.23 tahun 1999 mengamanatkan bahwa dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia harus mengakomodasi perkembangan bank-bank Syariah. Seiring dengan kian berkembangnya bank- bank Syariah di Indonesia, Bank Indonesia menerapkan instrumen moneter



Syariah dengan menggunakan prinsip wadi‟ah (titipan) yaitu Sertifikat Wadi‟ah Bank  Indonesia  (SWBI)  yang  bertujuan  untuk  menarik  kelebihan  likuiditas bank Syariah. Dari sisi bank syariah sendiri, SWBI ini dapat   dijadikan sebagai sarana penitipan dana jangka pendek.
SWBI bukanlah SBI dengan prinsip syariah, karena SWBI bukan surat berharga dan hanya sekedar bukti penitipan dana jangka pendek dengan prinsip  wadi‟ah.  Bank  Indonesia  hanya  memberikan  bonus  (return)  kepada bank pemegang SWBI sepanjang penitipan tersebut diperlukan dalam rangka kontraksi moneter berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian  SWBI tidak dimaksudkan  untuk   memberikan   sinyal   tingkat   “return syariah”   sebagai pengganti tingkat suku bunga pada SBI.


Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS)
Pasar Uang Antar Bank (PUAB) merupakan kegiatan pinjam meminjam dana antara satu bank dengan bank lainnya. Dimana bank yang mempunyai kelebihan dana (surplus unit) akan meminjamkan dana kepada bank yang kekurangan dana (deficit unit) dengan memberikan kompensasi/imbalan tertentu. Transaksi dalam PUAB biasa dilakukan oleh perbankan dalam kegiatan sehari-hari untuk menutupi kekurangan pendanaan (mismatch) jangka pendek.
Selain itu, pemain-pemain dalam PUAB sendiri adalah bank-bank konvensional yang mendapatkan pendapatannya berupa bunga. Sehingga pendapatan untuk transaksi dalam PUAB juga berupa bunga. Kondisi ini membuat bank syariah tidak bisa masuk ke dalam PUAB. Padahal sebagaimana layaknya lembaga bank lainnya, banksyariah membutuhkan adanya sarana PUAB antar bank syariah sendiri untuk mengelola likuiditasnya secara efisien dan optimal.
Untuk memberikan perlakuan yang setara kepada bank syariah, Bank Indonesia mulai mengeluarkan instrumen PUAB yang sesuai syariah yang dimulai ketika bank syariah di Indonesia hanya Bank Muamalat, dengan mengeluarkan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) mudharabah.



Instrumen Investasi Mudharabah Antarbank (IMA)
Instrumen yang digunakan dalam PUAS saat ini adalah Sertifikat Investasi Mudharabah Antar-bank (IMA). Hal ini berarti akad yang digunakan adalah mudharabah (bagi hasil) di mana keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak (pembeli dan penjual sertifikat IMA) berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Tingkat Indikasi Imbalan PUAS adalah rata- rata tertimbang tingkat indikasi imbalan sertifikat investasi mudharabah antarbank yang terjadi di PUAS, yang tercatat pada Pusat Informasi Pasar  Uang (PIPU).
Bank penjual menggunakan metode profit sharing (pembagian keuntungan) dan jika mengalami kerugian maka bank pembeli tidak akan memperoleh imbalan. Sepanjang kerugian itu bukan disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian bank penerbit, maka bank penanam dana akan menanggung kerugian itu maksimum sebesar nilai nominal investasi. Sertifikat IMA diterbitkan oleh kantor pusat Bank Syariah bagi bank yang seluruh kegiatannya berdasarkan prinsip syariah dan UUS. Meski demikian, bank konvensional juga dapat berpartisipasi dalam PUAS. Tetapi bank konvensional hanya dapat berperan sebagai pembeli sertifikat IMA. Sedangkan bank umum Syariah maupun UUS dapat bertindak sebagai penerbit maupun sebagai pembeli sertifikat IMA masing-masing melalui kantor pusat dan UUS-nya.

Kerangka Pemikiran
Secara umum, inflasi tentu akan berpengaruh terhadap transaksi di lembaga keuangan. Inflasi yang tercermin dari perubahan indeks harga secara umum di suatu negara akan mempengaruhi biaya dan pendapatan secara riil. Nilai pendapatan secara riil akan berkurang akan inflasi. Meskipun  berpengaruh terhadap sektor jasa keuangan, seperti yang dikutip English, tingkat inflasi yang lebih tinggi akan meningkatkankapasitas sektor jasa keuangan karena masyarakat akan mengurangi transaksi riil.Pengaruh inflasi terhadap industri jasa keuangan teraplikasi lewat channel BI rate.BI rate digunakan Bank Indonesia dalam pelaksanaan kebijakan moneternya. BI rate sebagai  indikator  tingkat  suku  bunga  pasar  besarannya  dipengaruhi    oleh



tingkat inflasi.2 BI rate kemudian akan mempengaruhi suku bunga pasar uang antarbank hingga deposito. Bagaimana dengan pengaruhnya terhadap lembaga keuangan syariah, khususnya bank syariah. Bank syariah tidak mengenal bunga sebagaireturnnya. Inflasi akan berpengaruh terhadap kinerja lembaga keuangan syariah. Seperti yang diungkapkan oleh teori bejana berhubungan.3 Kebijakan moneter   „konvensional‟   akan   mempunyai   pengaruh   terhada perbankan syariah seperti misalnya tingkat sukubunga SBI. Salah satu sebabnya adalah  aset perbankan syariah yang tergolong kecil. Aset industri perbankan syariah masih sebesar Rp. 22,8 triliun atau hanya 1,49 persen dari industri perbankan nasional. Sehingga fluktuasi di tingkat makro ”konvensional” akan berdampak langsung terhadap kinerja perbankan syariah.
Temuan ini juga diungkapkan oleh Pramuraharjo yang dalam tesisnya ditemukan bahwa pada kontraksi moneter berupa kenaikan suku bunga SBI akan mengakibatkan pengurangan deposito, penurunan pembiayaan, serta pengurangan likuiditas perbankan syariah. Putri menambahkan bahwa tingkat suku bunga SBI juga berpengaruh positif terhadap posisi SWBI. Kenaikan inflasi lebih berpengaruh kepada penurunan DPK perbankan syariah. Mayoritas pangsa konsumen perbankan syariah adalah golongan pasar mengambang (floating market). Golongan ini adalah golongan konsumen yang lebih bersifat returnoriented. Kenaikan tingkat inflasi tentu akan meningkatkan suku bunga deposito. Sehingga suku bunga deposito di perbankan konvensional lebih tinggi dan menarik daripada return dari perbankan syariah. Return yang lebih tinggi di perbankan konvensional akan meningkatkan displacement atau pengalihan dana yang besar dari perbankan syariah ke perbankan konvensional. Biasanya yang melakukan displacement ini adalah nasabah korporasi. Penurunan pertumbuhan DPK ini akan mengurangi kemampuan bank syariah dalam mengelola likuiditasnya untuk meningkatkan pendapatan karena penurunan DPK akan menyebabkan penurunan lending capacity.  Penurunan  DPK  tentu  akan  mempengaruhi  pengelolaan  likuiditas.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini berangkat dari pengaruh negatif inflasi terhadap pembiayaan perbankan syariah. Sehingga pengelolaan likuiditas bank syariah lebih diarahkan pada instrumen yang lebih rendah risiko. Bank Syariah menghadapi dilema pengelolaaan likuiditas. Jika menyalurkan ke sekotor riil, maka risiko defaultnya tinggi.Tetapi jika ditanamkan ke dalam SWBI atau IMA maka return yang didapat rendah dan memarjinalkan fungsi intermediasi bank syariah. Diasumsikan bahwa bank syariah lebih memilih kemungkinan yang kedua karena bank syariah masih dalam tahap early growth. Sehingga bank syariah lebih memilih untuk mengelola portofolio dengan risiko yang rendah agar tidak menganggu sustainibilitas permodalan internalnya. Berikut disajikan beberpa hipotesis yang diuraikan berdasarkan variabel penelitian.
1.                  Hipotesis pengaruh inflasi terhadap tingkat Financing to Depocit Ratio (FDR) perbankan syariah
Terdapat pengaruh negatif antara inflasi dengan tingkat Financing to Depocit Ratio (FDR) perbankan syariah
2.                  Hipotesis pengaruh inflasi terhadap volume transaksi Pasar Uang Antar Bank Syariah(PUAS)
Terdapat pengaruh positif antara inflasi dengan volume transaksi Pasar UangAntar Bank Syariah (PUAS)
3.                  Hipotesis pengaruh inflasi terhadap posisi outstanding Sertifikat Wadiah Bank Indonesia(SWBI)
Terdapat    pengaruh    positif    antara    inflasi    dengan    posisi    outstanding
SertifikatWadiah Bank Indonesia (SWBI)

 Lingkup Penelitian
Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder berupa time series bulanan yang didapat dari Statistik Perbankan Syariah (SPS), Laporan Perekonomian Indonesia  (LPI),  Statistik  Ekonomi  dan Keuangan Indonesia



(SEKI) terbitan Bank Indonesia (SEKI-BI) dan beberapa data terbitan dari Biro Pusat Statistik (BPS). Periode pengumpulan data dilakukan mulai dari Bulan September 2006 hingga September 2014. Satuan data yang digunakan berupa milyaran Rupiah dan persentase. Satuan data dalam milyaran Rupiah digunakan oleh variable VPUAS dan OSWBI sedangkan satuan data dalam bentuk persentase digunakan variabel INF, FDR dan NPF Untuk menghilangkan permasalahan satuan data yang berbeda, satuan data dalam bentuk milyaran Rupiah terlebih dahulu dirubah dalam bentuk logaritma.

 Variabel penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.         Tingkat Inflasi IHK (INF)
Tingkat inflasi IHK merupakan penghitungan tingkat inflasi di Indonesia atas dasar indikator pergerakan harga rata-rata dari barang-barang pada tingkat konsumen akhir yang terjadi diperdagangkan di suatu daerah yang dihitung secara bulanan.
2.         Financing To Deposit Ratio (FDR)
FDR merupakan rasio (persentase) antara Dana Pihak Ketiga (DPK) yang diterima oleh bank syariah dibandingkan dengan jumlah pembiayaan yang disalurkan.
3.         Non Performing Financing (NPF)
NPF merupakan besarnya persentase pembiayaan macet yang berasal dari debitor yang tidak mampu melunasi kewajibannya sesuai dengan kesepakatan awal.
4.         Volume transaksi PUAS (VPUAS)
Volume transaksi PUAS merupakan jumlah transaksi yang dilakukan dalam PUAS dengan menggunakan instrumen IMA.Satuan data PUAS adalah milyaran Rupiah.
5.         Posisi outstanding SWBI (OSWBI)
       Outstanding SWBI adalah jumlah dana perbankan syariah yang ditempatkan di Bank Indonesia.

 Model penelitian
Model yang digunakan dalam penelitian adalah berbentuk model bivariat  :  {INF,  FDR},  {INF,  NPF},  {INF,  VPUAS},  {INF,   OSWBI}.
Penjabaran dari model-model bivariat tersebut disajikan sebagai :
1.         Pengaruh inflasi (INF) terhadap tingkat Financing to Depocit Ratio (FDR) perbankan Syariah
2.         Pengaruh inflasi (INF) terhadap tingkat Non Performing Financing (NPF) perbankan syariah
3.         Pengaruh inflasi (INF) terhadap volume transaksi Pasar Uang Antar Bank Syariah (VPUAS)
4.         Pengaruh (INF) inflasi terhadap posisi outstanding Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (OSWBI)

 Definisi dan ruang lingkup VAR
Model-model ekonometri biasanya berbentuk model struktural. Model-model ini dibentuk berdasarkan suatu teori ekonomi. Tetapi, kadang kala teori ekonomi tidak dapat menjelaskan suatu fenomena atau mendeskripsikan hubungan antar variabel yang ingin diuji sesuai dengan landasan teorinya secara tepat. Dengan demikian penggunaan teori ekonomi saja ternyata tidak cukup dalam menyediakan spesifikasi yang tepat terhadap hubungan dinamis antar variabel atas terjadinya suatu fenomena.
Bahkan ada beberapa teori ekonomi yang saling berbeda dalam menjelaskan suatu fenomena. Sehingga seringkali pemodel bersandar pada data dalam menentukan struktur dinamik modelnya. Selain itu proses estimasi dan inferensi bisa menjadi lebih rumit karena terdapatnya variabel endogen  di kedua sisi persamaan (endogenitas variabel di sisi dependen dan independen). Oleh karena itu, dibutuhkan metode lain yang tidak banyak tergantung pada teori dalam penyusunan model sebagai jalan keluar akan dilema ini.



VAR merupakan teknik yang dapat menjawab tantangan tersebut. VAR merupakan metode lebih lanjut sebuah sistem persamaan simultan yang bercirikan pada pemanfaatan beberapa variabel ke dalam model secara bersama-sama. Jika dalam persamaan simultan terdapat variabel endogen dan eksogen, maka dalam VAR setiap variabel dianggap simetris, karena sulit untuk menentukan secara pasti apakah suatu variabel bersifat endogen atau eksogen.
Selain itu VAR (Vector Autoregression) secara luas juga digunakan untuk sistem forecasting yang berkaitan dengan kurun waktu dan untuk menganalisis dampak dinamis dari gangguan acak (random disturbance) terhadap sistem variabel.
Analisis dalam penelitian ini menggunakan Vector Autoregresion karena beberapa hal di bawah ini :
1.         Model VAR dapat menjelaskan hubungan jangka panjang simultan antar variable penelitian dengan lebih baik dari pada regresi linier.
2.         Penelitian ini memasukkan variabel makro ekonomi sebagai variabel yang akan diteliti pergerakannya, yaitu inflasi. Padahal menurut Rao, sebagian  dari data makroekonomi mempunyai sifat non stasioner dan causality dan metode VAR lebih dapat menangkap hubungan jangka panjang pada variable makro ini lebih baik daripada metode regresi linier.
Penggunaan model VAR dalam studi ini mengacu pada beberapa referensi terutama dari kajian-kajian ekonomi moneter yang membahas pengaruh variabel makroekonomi dan kebijakan moneter terhadap kinerja variabel-variabel keuangan di sektor mikro serta transmisi moneter. Beberapa riset terdahulu yang menggunakan model VAR antara lain Holtemoller yang menggunakan IRF VAR suku bunga kredit dan kredit terhadap perubahan variabel moneter. Arsana menggunakan VAR untuk melihat pengaruh nilai tukar terhadap aliran kredit dan mekanisme transmisi kebijakan moneter jalur kredit.Selain itu juga  terdapat  Fung yang  menggunakan  model  VAR untuk


 Uji Stasioneritas Data
Berdasarkan grafik 4.1, periode yang digunakan dalam penelitian ini memiliki beberapa structural break, karena itu uji unit rootnya tidak menggunakan Augmented Dickey Fuller test, melainkan dengan Phillip Pheron (PP). Nilai statistik PP dibandingkan dengan nilai kritis (critical value)  MacKinnon untuk mengetahui derajat integrasi stasioneritas suatu variabel. Suatu variabel disebut stasioner pada integrasi tertentu jika nilai PP lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon.
Dengan membandingkan nilai PP dengan nilai kritis, dapat dilihat keberadaan unit root dari setiap variabel yang digunakan dalam model. Setelah diadakan uji unit root, maka diketahui bahwa INF, FDR, OWSBI, dan  VPUAS tidak stasioner pada tingkat level. Setelah dilakukan uji unit root pada 1st difference barulah semua series menjadi stasioner, baik pada alpha 1%, 5% maupun 10%.Karena itu, series ini dapat dilanjutkan pada tahapan berikutnya dengan menggunakan VAR in difference.
Di bawah ini adalah hasil uji unit root menggunakan metode PP pada
1st difference dari semua variabel:


Penentuan selang optimal (optimal lag)
Lag optimal adalah lag yang maksimum yang dapat diterima oleh sistem VAR yang stabil karena proses ini dilakukan untuk mencari lag maksimum yang dapat memberikan informasi yang cukup untuk melakukan uji-uji selanjutnya sekaligus menghindari parameter yang berlebihan (overparameterization).
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Sumber: Data sekunder yang diolah, 2015.


Setelah diketahui bahwa lag maksimum pada berbagai model bivariat maka dilakukan uji seleksi lag agar dari banyaknya lag yang ditawarkan, lag  yang paling optimum dapat segera ditentukan. Penentuan lag optimal yang



digunakan dalam penelitian ini berdasarkan lag terpendek  dengan menggunakan Hannan Quinnon (HQ). Hasilnya menunjukkan bahwa model persamaan mengalami lag optimal pada lag 2 (Tabel 4.2).

 Pengujian hubungan kointegrasi
Alternatif uji kointegrasi yang sekarang banyak digunakan adalah uji kointegrasi yang dikembangkan Johansen.Uji yang dikembangkan Johansen dapat digunakan untuk menentukan kointegrasi sejumlah variabel.hasil uji kointegrasi Johansen dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Pada Tabel 4.3. hasil uji kointegrasi menunjukkan nilai absolut Trace Statistic lebih besar dari nilai kritis pada tingkat signifikansi 5 persen. Dari hasil uji kointegrasi Johansen, dapat disimpulkan bahwa variabel Inflasi (INF), FDR, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan tingkat bagi hasil pinjaman pasar uang antarbank syariah (PUAS) saling berkointegrasi pada tingkat signifikansi 5 persen.


Bentuk urutan variabel (ordering)
Suatu sistem VAR yang stabil dan baik akan memberikan output yang konsisten, terlepas pada bentuk ordering variabelnya. Kondisi ini baru   terjadi



apabila korelasi di antara residual variabel di dalam sistem memiliki nilai lebih kecil dari 0,2 karena nilai korelasi yang lebih besar dari 0,2 mengindikasikan kebutuhan akan ordering variabel.


 Implementasi VAR
Implementasi VAR untuk mengetahui pengaruh inflasi terhadap FDR, NPF, Volume transaksi PUAS dan posisi outstanding SWBI menggunakan variance decomposition dan impulse response.Berikut dibawah ini adalah penjelasan dari uji hipotesis yang dilakukan dengan dua metode, yaitu Variance Decomposition (VED) dan Impulse Response Function (IRF).

 Estimasi Model VAR
Persamaan di bawah ini menunjukkan hasil estimasi model VAR.  Dalam penelitian ini, digunakan empat model VAR sesuai dengan jenis suku bunga perbankan yang digunakan.



 Pengaruh INF terhadap FDR
Dari Hasil analisa variance decomposition model INF dan FDR dapat disimpulkan bahwa INF tidak secara signifikan mempengaruhi FDR. FDR lebih dipengaruhi oleh kinerjanya di masa lalu. Bahkan pengaruh inflasi terhadap FDR perbankan syariah hanya berlaku dalam jangka pendek. Hal ini dapat dilihat dengan nilai Standar Error (SE) yang cukup tinggi. Tidak signifikannya pengaruh inflasi terhadap FDR dikarenakan bank syariah tidak memakai mekanisme suku bunga. Sehingga tingkat bagi hasil atau marjin laba produk  bank  syariah  tidak  harus  ‟menyesuaikan‟  diri  dengan  tingkat  inflasi seperti layaknya tingkat suku bunga bank konvesional. Untuk melihat respon variabel FDR terhadap perubahan INF. Di bawah ini adalah grafik  IRF dari variabel INF terhadap FDR:
Grafik IRF accumulated responses dari variabel INF terhadap variabel FDR mempunyai slope positif. Hal ini berarti pergerakan inflasi searah dengan pergerakan FDR perbankan syariah. Meskipun demikian pengaruhnya tidak terlalu signifikan karena grafiknya tidak naik dengan tajam. Hasil pengujian berarti mematahkan hipotesis awal penelitian yang menyatakan bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap FDR perbankan syariah. Tingkat suku bunga bank konvensional mengacu pada tingkat BI rate yang merupakan indikator suku bunga pasar di mana BI rate sudah mengakomodir tingkat inflasi. Sehingga tingkat suku bunga pasar pasti lebih besar dari pada tingkat inflasi supaya nilai riilnya lebih tinggi untuk meNdapatkan marjin keuntungan riil.
Tetap naiknya FDR perbankan syariah ketika terjadi kenaikan inflasi menandakan  bahwa    perbankan  syariah  tidak  terlalu  takut akan  kehadiran inflasi dalam hal penyaluran pembiayaan. Penyaluran pembiayaan harus tetap dilakukan bank syariah karena jika tidak akan menghadapi risiko bleeding karena alternatif penempatan likuiditasnya masih terbatas. Bleeding merupakan kondisi dimana bank tidak dapat membayar return dari investasi (deposito) nasabah karena bank tidak dapat mengelola dana nasabah tersebut untuk memberikan keuntungan bagi bank  sehinga  bank  dapat  membayar return untuk  nasabah. Tetapi  sayangnya,  jika  dilihat  dari  komposisi pembiayaan perbankan syariah,



masih didominasi oleh pembiayaan murabahah. Padahal pola pembiayaan berbasis bagi hasil merupakan esensi pembiayaan bank syariah. Pembiayaan berbasis bagi hasil lebih condong untuk menggiatkan sektor riil karena meningkatkan hubungan langsung dan pembagian risiko antara bank syariah dengan debitor. Bahkan pengembangan produk yang terjadi di perbankan syariah lebih berbasis pada produk layanan konsumen (consumer banking) seperti produk pembiayaan perumahan.
Masih dominannya pembiayaan berbasis murabahah memuat bank syariah masih bersifat risk avoide. Apalagi portofolio pembiayaan bank syariah juga didominasi financing kepada sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM)  dan penggunaannya untuk kebutuhan modal kerja. Padahal menurut Rosly dalam skema mudharabah, inflasi bukan perhatian utama. Karena dalam mudharabah, keuntungan tidak ditentukan di awal kontrak, tetapi direalisasikan sejalan dengan kondisi ekonomi. Ketika terjadi inflasi, tingkat harga naik, penjualan dan keuntungan diperkirakan naik juga. Dalam sisi liabilitas,  kenaikan inflasi akan meningkatkan return mudharabah.6
Penyaluran pembiayaan berbasis bagi hasil lebih menggunakan pola linkage bank syariah dengan lembaga keuangan lainnya seperti BPRS, koperasi dan pegadaian. Peningkatan kerjasama linkage ini merupakan salah satu sarana yang membuat penyaluran likuiditas bank syariah tetap tinggi. Kenaikan inflasi lebih berpengaruh kepada penurunan DPK perbankan syariah. Penurunan DPK terjadi karena tingkat suku bunga deposito perbankan konvensional menjadi tinggi. Kenaikan tingkat suku bunga deposito perbankan konvensional menyebabkan peningkatan risiko displacement atau pengalihan dana dari bank syariah ke bank konvensional. Penurunan DPK bisa mengurangi lending capacity bank syariah.


Pengaruh INF terhadap VPUAS
Dari tabel variance decomposition di atas dapat diketahui bahwa pengaruh INF terhadap VPUAS sangat kecil. Dilihat dari Standard Error-nya, pengaruhnya pun hanya terjadi dalam jangka pendek saja. Meskipun semakin lama pengaruhnya semakin meningkat. Variabel VPUAS lebih dipengaruhi oleh kinerjanya dimasa lalu.Grafik 4.2.IRF INF terhadap VPUAS
Grafik accumulated response dari variabel INF terhadap variabel VPUAS mempunyai slope positif yang dimulai pada bulan ke 2. Hal ini menandakan bahwa pergerakan volume transaksi VPUAS bergerak searah dengan laju  inflasi yang berarti kebutuhan likuiditas jangka pendek bank syariah naik pada saat terjadi inflasi. Walaupun secara nasional perbankan syariah terlihat likuid namun per masing-masing bank bukan tidak mungkin terdapat bank yang kekurangan likuiditas.
Naiknya kebutuhan likuiditas sementara terjadi karena  bank permodalan bank syariah masih rentan terhadap adanya shock dalam perekonomian meskipun pengaruhnya tidak secara langsung.Karena inflasi, meskipun pengaruhnya kecil bagi bank syariah, dapat meningkatkan risiko default debitor dan menyebabkan terjadi temporary illikuid.
Kekhawatiran ini diakibatkan oleh masih rendahnya modal bank  syariah. Apalagi biasanya pihak yang bermain sebagai penjual sertifikat IMA adalah Unit Usaha Syariah (UUS). Modal UUS masih ditunjang oleh bank induknya,   sehingga   UUS   sangat   hati-hati   (prudent)   dalam     manajemen



pembiayaannya ketika terjadi gejolak dalam perekonomian agar modal (CAR) tidak turun.


Pengaruh INF terhadap OSWBI
Dari hasil dekomposisi varians variabel INF terhadap OSWBI dalam 12 periode diketahui bahwa variabel INF mempengaruhi variabel OSWBI secara signifikan dan semakin panjang periodenya pengaruh itu semakin kuat.  OSWBI sendiri secara signifikan dipengaruhi oleh pergerakan nilainya dimasa lalu.
Grafik accumulated response dari variabel INF terhadap variabel OSWBI mempunyai slope negatif yang dimulai pada bulan ke-8 sehingga dapat  diartikan bahwa setiap kenaikan posisi INF, akan direspon dengan kenaikan SWBI. Kenaikan outstanding SWBI ketika terjadi kenaikan inflasi disebabkan SWBI tidak mempunyai risiko default. Tetapi karena bonus yang diberikan dari penempatan dana di SWBI kecil maka proporsi penempatan dana di SWBI  juga tidak besar. Selain disalurkan untuk melakukan ekspansi  pembiayaan, DPK juga  dipakai  untuk  tujuan investasi  fisik  seperti  melakukan  perluasan



jaringan kantor dan layanan perbankan dan menutup biaya operasional karena peningkatan biaya pembentukan cadangan penghapusan atas risiko kerugian.


Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari inflasi IHK (INF) terhadap kinerja pembiayaaan perbankan syariah yang diukur dengan kriteria Financing to Depocit Ratio (FDR), volume transaksi Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syariah (VPUAS) dan posisioutstanding Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (OSWBI). Berdasarkan pengujian yang menggunakan metode Vector Autoregression (VAR) ternyata variabel INF mempunyai pengaruh positif terhadap variabel FDR, NPF, VPUAS dan OSWBI. Berikut dijelaskan beberapa intisari dari hasil pengujian penelitian ini.
Inflasi berpengaruh positif terhadapFinancing to Depocit Ratio (FDR), volume transaksi Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syariah (VPUAS) dan posisioutstanding   Sertifikat   Wadi‟ah   Bank   Indonesia   (OSWBI) Meskipun demikian pengaruhnya sangat kecil, tidak signifikan dan hanya berlangsung dalam jangka pendek saja. Bahkan variabel-variabel tersebut lebih dipengaruhi oleh kinerjanya di masa lalu. Tidak signifikannya pengaruh variabel INF terhadap variabel FDR, dan VPUAS disebabkan masih kecilnya kedudukan perbankan syariah sebagai faktor yang dapat mempengaruhi peredaran uang di Indonesia.
Konklusi dari hasil penelitian ini bahwa perilaku perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional. Basis pendapatan  bank konvensional adalah bunga.Tingkat suku bunga tidak mencerminkan biaya kredit ke sektor riil, melainkan merupakan cerminan BI rate yang merupakan suku bunga pasar yang mengakomodir tingkat inflasi.Sehingga terdapat hubungan yang negatif antara sektor riil dengan sektor moneter. Di saat sektor riil membutuhkan tambahan dana investasi untuk bisa bertahan  atau melakukan ekspansi di tengah-tengah inflasi, tingkat suku bunga bank konvensional malah naik seriring kenaikan inflasi. Sedangkan bank syariah, sebagai bank yang bersentuhan langsung dengan sektor riil, „fee‟  pembiayaan yang dikenakan kepada debitor merupakan cerminan dari keseimbangan antara penawaran dan permintaan pembiayaan yang sesungguhnya.


 DAFTAR PUSTAKA

Agung, Juda, Bambang Kusmiarso, Bambang Pramono, Erwin G. Hutapea, Andry Prasmuko, Nugroho Joko Prastowo, Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis: Fakta, Penyebab, dan Implikasi Kebijakan, Jakarta: Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, 2001
Al-Mushlih, Abdullah dan Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keungan Islam (terjemahan), Jakarta: Darul Haq, 2004
Antonio,  Muhammad Syafi‟i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Arsana, I Gede Putra, “Pengaruh Nilai Tukar Terhadap Aliran Kredit dan Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Jalur Kredit”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol. V, No. 02, 2005 Januari, hal 121-140
Ascarya (editor), Mencari Solusi Pembiayaan Bagi Hasil Perbankan Syariah, Jakarta: Bank Indonesia, 2004
--------------- dan Diana Yumanita, Bank Syariah:  Gambaran  Umum,Jakarta: Bank Indonesia, 2005
Buchori, Ahmad, “Mengenal PUAS dan SWBI sebagai Piranti Pasar Uang dan Moneter Syariah”, Wacana, Edisi 2,  Agustus 2001
Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional,Jakarta: MUI dan BI, 2003
Direktorat Perbankan Syariah, Laporan Perbankan Syariah tahun 2005, Jakarta: Bank Indonesia, 2006
Enders, Walter, Applied Econometric Time Series, New York: John Wiley and Sons, 1995
English, William B, “Inflation and Financial Sector Size”, Journal of Monetary Economics, Vol. 44, Tahun 1999, hal. 379-400
Fung, Ben S C, “a VAR model is used to study the effects of monetary policy shocks in seven East Asian economies”, BIS Working Papers, No. 119, 2002
Gambacorta, Leonardo, “Bank-specific Characteristics and Monetary Policy Transmission: The Case of Italy”, ECB Working Paper Series, 2001



Hadad, Muliaman D dkk, “Studi Biaya Intermediasi Beberapa Bank Besar di Indonesia: Apakah Bunga Kredit Bank Umum Overpriced ?, BI Working Paper, 2003
Heatubun, S. Donny handoko dkk, Kajian tentang Instrumen Moneter Pada Perbankan Syariah, PCS-BI Angkatan I Kelompok D. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Januari, 2000
Karim, Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : IIIT, 2001
------------------, “Bejana Berhubungan Bank Syariah”, Republika, Senin, 31 Mei 2004
Karim, Yustika T, “Prospek dan Tantangan Perbankan Syariah 2006”, Economic Review Journal, No. 202, Desember 2005
Lewis, K. Mervyn dan Latifa M. Algaoud, Islamic Banking, Northampton: Edward Elgar Publishing, 2001
Mannan, M.A, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (terj.), Jakarta: Intermasa, 1992 Miskin, Frederick, The Economics of Money, Banking and Financial Market, New
York: Addison Wesley, 2003
Nasution, Anwar, Kumpulan Esay tentang Inflasi, 1997
Nasution, Chairuddin Syah, “Manajemen Kredit Syariah Bank Muamalat”, http://www.fiskal.depkeu.go.id
Nugroho, Ugie, “Mekanisme PUAB bagi Ekses Dana Pihak Ketiga Perbankan”, Kompas, Sabtu 3 April 2004.
Rosly, Saiful Azhar, “Mudharabah Interbank Investment”, The Sun (Malaysia), Friday, Februari 16, 1996
-----------------------, “Can Islamic Banks Really Practise Musyarakah”, The   Sun
(Malaysia), Friday. November 25,1994
------------------------, “Mudharabah  and  the Role  of Shariah  Court”,  The Sun
(Malaysia), Friday, December 2,1994
------------------------, Islamic Banking and Economic Development”,  The   Sun
(Malaysia), Friday, August 26,1994.
------------------------, “Banking on Leverage”, The Sun (Malaysia), Friday,  March 17,1995
-----------------------, “Lending is Indeed Charity”, The Sun (Malaysia), Friday, November 4, 1994