Sabtu, 09 Mei 2015

Hukum Perjanjian

Disusun Oleh :
Mega Putri Agustina
Kelas 2EB07
Nomor Absen 30




BAB I
PENDAHULUAN

1.1.           LATAR BELAKANG

Buku II KUH Pdt atau BW terdari dari suatu bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum bab I sampai dengan bab IV, memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Buku III KUH Pdt menganut azas “kebebasan berkontrak” dalam membuat perjanjian, asal tidak melanggar ketentuan apa saja, asal tidak melanggar ketentuan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Azas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUH Pdt yang menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Yang dimaksud dengan pasal ini adalah bahwa semua perjanjian “mengikat” kedua belah pihak.
Terjadinya prestasi, wanprestasi, keadaan memaksa, fiudusia, dan hak tangunggan dikarenakan hukum perikatan menurut Buku III B.W  ialah: suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang lainnya ini  diwajibkan untuk memenuhi tuntutan itu. Oleh karena sifat hukum yang termuat dalam Buku III itu selalu berupa suatu tuntut-menuntut maka Buku III juga dinamakan hukum perhutangan. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur” sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi” yang menurut undang-undang dapat berupa : 1. Menyerahkan suatu barang. 2. Melakukan suatu perbuatan. 3. Tidak melakukan suatu perbuatan.

1.2.          RUMUSAN MASALAH

Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian dari Perjanjian?.
2.      Apa saja unsur unsur Perjanjian?.
3.      Apa pengertian Prestasi dan wanprestasi?.
4.      Apa pengertian azas azas Perjanjian?.
5.      Apa saja syarat sah Perjanjian?.
6.      Apa pengertian dari masing masing jenis Perjanjian?
7.      Apa akibat Hukum Perjanjian yang sah?.
8.      Apa pengertian fidusia?.
9.      Contoh Kasus dan Penyelesaiannya.

1.3.          TUJUAN PEMBAHASAN

Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah untuk :
1.      Memahami pengertian perjanjian.
2.      Memahami unsur-unsur Perjanjian.
3.      Memahami Prestasi Dan Wanprestasi.
4.      Memehami azas azas Perjanjian.
5.      Memahami syarat sah Perjanjian
6.      Memahami jenis jenis Perjanjian.
7.      Memahami akibat dari Hukum Perjanjian yang sah.
8.      Memahami fidusia.
9.      Memahami unsure – unsure yang perlu dalam perjanjian.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.          Pengertian Perjanjian.

1. Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata
            Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Ketentua pasal ini sebenarnya kurang begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan.
Kelemahan- kelemahan itu adalah seperti diuraikan di bawah ini:
1.      Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini diketahui dari perumusan, “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
2.      Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
3.      Pengertian perjanjian terlalu luas
4.      Tanpa menyebut tujuan
5.      Ada bentuk tertentu, lisan dan tulisan
6.      Ada syarat- syarat tertentu sebagai isi perjanjian, seperti disebutkan di bawah ini:
·         syarat ada persetuuan kehendak
·         syarat kecakapan pihak- pihak
·         ada hal tertentu
·         ada kausa yang halal

2. Menurut Rutten
            Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.

3. Menurut adat
            Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).

4. Menurut Kamus Hukum Black Law Dictionary
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “ persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, maasing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.”
Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “ Persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama”.

2.2.          Unsur-Unsur Perjanjian
Dari perumusan perjanjian tersebut, terdapat beberapa unsur perjanjian, antara lain :
1.      Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak
2.      Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap
3.      Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak
4.      Ada prestasi yang akan dilaksanakan
5.      Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisa
6.      Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian

1)      Pihak – pihak ( Subjek )
Pihak (subjek) dalam perjanjian adalah para pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Syarat menjadi subjek adalah harus ampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum.
KUH Perdata membedakan 3 golongan yang tersangkut pada perjanjian, yaitu:
1.      Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
2.      para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak daripadanya:
3.      pihak ketiga

2)      Sifat Perjanjian
Unsur yang penting dalam perjanjian adalah adanya persetujuan (kesepakatan) antara para pihak. Sifat persetujuan dalam suatu perjanjian di sini harus tetap, bukan sekedar berunding. Persetujuan itu ditunjukkan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran, Apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak yang lainnya.
3)      Tujuan Perjajian
Tujuan diadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak itu, kebutuhan mana hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian denga pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh Undang- Undang


4)      Prestasi
Dengan adanya persetujua, maka timbullah kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi [consideran menurut hukum Anglo Saxon]. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.
5)      Bentuk Perjanjian
Bentuk perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti. Bentuk tertentu biasanya berupa akta. Perjanjian itudapat dibuat lisan, artinya dengan kata-kata yang jelas maksud dan tujuannya yang  dipahami oleh para phak [itu sudah cukup], kecuali jika para pihak menghendaki supaya dibuat secara tertulis (akta).
6)      Syarat Perjanjian
Syarat-syarat tertentu dari perjanjian ini sebenarnya sebagai isi perjanjian, karena dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat-syarat tersebut biasanya terdiri dari syarat pokok yang akan menimbulkan hak dan kewajiban pokok, misalnya, mengenai barangnya, harganya, dan juga syarat pelengkap atau tambahan, misalnya mengenai cara pembayarannya, cara penyerahannya, dan sebagainya.

2.3.          Prestasi dan Wanprestasi

1.    Pretasi
Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Kemudian Pasal 1235 KUHPerdata menyebutkan: “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan”.
Dari pasal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perikatan, pengertian “memberi sesuatu” mencakup pula kewajiban untuk menyerahkan barangnya dan untuk memeliharanya hingga waktu penyerahannya.
Istilah “memberikan sesuatu” sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235 KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu:
1)      Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian.
2)      Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan penyerahan yuridis.
Wujud prestasi yang lainnya adalah “berbuat sesuatu” dan “tidak berbuat sesuatu”. Berbuat sesuatu adalah melakukan suatu perbuatan yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana juga yang telah ditetapkan dalam perjanjian, manakala para pihak telah menunaikan prestasinya maka perjanjian tersebut akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa menimbulkan persoalan. Namun kadangkala ditemui bahwa debitur tidak bersedia melakukan atau menolak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Salah satu unsur dari suatu perikatan adalah adanya suatu isi atau tujuan perikatan, yakni suatu prestasi yang terdiri dari 3 (tiga) macam:
1)      Memberikan sesuatu, misalnya membayar harga, menyerahkan barang.
2)      Berbuat sesuatu, misalnya memperbaiki barang yang rusak, membangun rumah, melukis suatu lukisan untuk pemesan.
3)      Tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian tindak akan mendirikan suatu bangunan, perjanjian tidak akan menggunakan merk dagang tertentu.
Prestasi dalam suatu perikatan tersebut harus memenuhi syarat-syarat:
1)      Suatu prestasi harus merupakan suatu prestasi yang tertentu, atau sedikitnya dapat ditentukan jenisnya, tanpa adaya ketentuan sulit untuk menentukan apakah debetur telah memenuhi prestasi atau belum.
2)      Prestasi harus dihubungkan dengan suatu kepentingan. Tanpa suatu kepentingan orang tidak dapat mengadakan tuntutan.
3)      Prestasi harus diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4)      Prestasi harus mungkin dilaksanakan.

2.    Wanprestasi
Wanprestasi  adalah keadaan dimana seorang telah lalai untuk memenuhi kewajiban yang diharuskan oleh Undang-Undang. Jadi wanprestasi merupakan akibat dari pada tidak dipenuhinya perikatan hukum.
Pada umumnya debitur dikatakan wanprestasi manakala ia karena kesalahannya sendiri tidak melaksanakan prestasi, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Menurut R.Subekti, melakukanprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya juga dinamakan wanprestasi. Yang menjadi persoalan adalah sejak kapandebitur dapat dikatakan wanprestasi. Mengenai hal tersebut perlu dibedakan wujud atau bentuk prestasinya. Sebab bentuk prestasi ini sangat menentukan sejak kapan seorang debitur dapat dikatakan telah wanprestasi.
Dalam hal wujud prestasinya “memberikan sesuatu”, maka perlu pula dipertanyakan apakah di dalam perjanjian telah ditentukan atau belum mengenai tenggang waktu pemenuhan prestasinya. Apabila tenggang waktu pemenuhan prestasisudah ditentukan dalam perjanjian, maka menurut Pasal 1238 KUHPerdata, debitur sudah dianggap wanprestasi dengan lewatnya waktu pemenuhan prestasi tersebut. Sedangkan bila tenggang waktunya tidak dicantumkan dalam perjanjian, maka dipandang perlu untuk terlebih dahulu memperingatkan debitur guna memenuhi kewajibannya, dan jika tidak dipenuhi, maka ia telah dinyatakan wanprestasi.
Surat peringatan kepada debitur tersebut dinamakan somasi, dan somasi inilah yang digunakan sebagai alat bukti bahwa debitur telah wanprestasi. Untuk perikatan yang wujud prestasinya “tidak berbuat sesuatu” kiranya tidak menjadi persoalan untuk menentukan sejak kapan seorang debitur dinyatakan wanprestasi, sebab bila debitur melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dalam perjanjian maka ia dinyatakan telah wanprestasi.
Wanprestasi berarti debitur tidak melakukan apa yang dijanjikannya atau ingkar janji, melanggar perjanjian serta melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berartiprestasi buruk. Debitur dianggap wanprestasi bila ia memenuhi syarat-syarat di atas dalam keadaan lalai maupun dalam keadaan sengaja. Wanprestasi yang dilakukan debitur dapat berupa 4 (empat) macam:
1)      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2)      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
3)      Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4)      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Ada  pendapat lain mengenai syarat-syarat terjadinya wanprestasi, yaitu:
1)      Debitur sama sekali tidak berprestasi, dalam hal ini kreditur tidak perlu menyatakan peringatan atau teguran karena hal ini percuma sebab debitur memang tidak mampu berprestasi;
2)      Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya, dalam hal ini debitur sudah beritikad baik untuk melakukanprestasi, tetapi ia salah dalam melakukan pemenuhannya;
3)      Debitur terlambat berprestasi, dalam hal ini debitur masih mampu memenuhi prestasi namun terlambat dalam memenuhi prestasi tersebut.
Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut:
1)      Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi;
2)      Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3)      Peralihan risiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4)      Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam menghadapidebitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut:
1)      Dapat menuntut pemenuhan perjanjian, walaupun pelaksanaannya terlambat;
2)      Dapat menuntut penggantian kerugian, berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi tersebut dapat berupa biaya, rugi atau bunga;
3)      Dapat menuntut pemenuhan dan penggantian kerugian;
4)      Dapat menuntut pembatalan atau pemutusan perjanjian; dan
5)      Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian.


2.4.         Asas-Asas Perjanjian
Di dalam hukum perjanjian dikenal 3 asas, yaitu asas konsensualisme, asas pacta sunt servada, dan asas kebebasan berkontrak

·         Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme artinya bahwa suatu perikatan itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak, dengan kata lain bahwa perikatan itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perikatan
Berdasarkan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan kedua belah pihak. Artinya bahwa perikatan pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan para pihak.

·         Asas Pacta Sunt Servada

Asas pacta sunt servada, berhubungan dengan akibat dari perjanjian. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan :
Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
persetujian-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dari ketentuan tersebur terkandung beberapa istilah. pertama, istilah ‘semua perjanjian’ berarti bahwa pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga perjanjian yang tidak bernama. Selain itu, juga mengandung suatu asas partj autonomie. Kedua, istilah ‘secara sah’,  artinya bahwa pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perbuatan perjanjian harus memenuhi persyaratan  yang telah ditentukan dan bersifat mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak sehingga terealisasi asas kepastian hukum.Ketiga, istilah ‘itikat baik’ hal ini berarti memberi perlindungan hukum pada debitor dan kedudukan antara kreditor dan debitor menjadi seimbang. Ini merupakan realisasi dari asas keeimbangan.

·         Asas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak (Freedom of making contract), adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.

Menurut Salim H.S, bahwa asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan  kebebasan kepada para pihak untuk :
(1) membuat atau tidak membuat perjanjian;
(2) mengadakan perjanjian dengan siapapun,
(3) Menentuan isi perjanjian, pelaksaan, dan persyaratannya: dan
(4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis dan lisan.

Namun demikian, Abdulkdair Muhammad, berpendapat bahwa kebebasan berkontrak tersebut tetap dibatasi oleh tiga hal,  yaitu :
(1) tidak dilarang oleh undang-undang.
(2) tidak bertentangan dengan kesusilaan.
(3) tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

Selain asas-asas perjanjian yang telah di sebutkan di atas, dalam suatu perjanjian dikenal juga asas-asas sebagai berikut, yaitu : asas terbuka, bersifat pelengkap, dan obligator.
a.     Asas terbuka (open system) yaitu, setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Asas terbuka merupakan nama lain dari asas kebebasan berkontrak.
b.    Bersifat pelengkap (optimal), artinya pasal-pasal undang-undang boleh disingkirkan, apabila pihak-pihak yang membuat perjanjian  menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan pasal-pasal undang-undang.
c.     Bersifat Obligator (obligatory), yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak itu baru dalam taraf menimbulkan hak dan kewajiban saja, belum memindahkan hak milik (ownership).

2.5.          Syarat Sah Perjanjian

Di dalam hukum Kontrak (Law of Contract) Amerika ditentukan 4 syarat sahnya perjanjiah, yaitu :
(1) adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan).
(2) Metting of minds (persesuaian kehendak)
(3) konsiderasi (prestasi)
(4) competent legal parties (kewenangan hukum para pihak) dan legal subject matter  (pokok persoalan yang sah),

sedangkan di dalam hukum Eropa Kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur di dalam pasal 1320 KUH Perdata atau pasal 1365 Buku IV NBW (BW baru) belanda. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan  empat syarat sahnya perjanjian, seperti berikut ini.


A.  Adanya Kesepakatan (toesteming/izin) kedua belah pihak

Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang menjadi pertanyaan adalah “ kapan momentum terjadinya persesuaian pernyataan kehendak tersebut “?

Ada  4 teori yang menjawab momentum terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, sebagai berikut.
1)      Teori ucapan (uitingstheorie)
Menurut teori ucapan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran itu menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Kelemahan teori ini adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
2)      Teori Pengiriman (verzendtheorie)
Menurut teori pengiriman kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaranmengirimkan telegram. Teori ini juga sangat teoritis, dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
3)      Teori pengetahuan (vernemingstheorie)
Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya acceptatie (peneriman), tetapi penerimaan itu belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori in, bagaimana ia mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.
·         Teori penerimaan (onivangstheorie)
Menurut teori ipenerimaan, bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
Momentum terjadi perjanjian, yaitu pada saat terjadinya persesuaian antara kehendak, teori pernyataan dan kehendak antara kreditor dan debitor. Namun ada kalanya tidak ada persesuaian antara pernyataan dan kehendak.

Ada 3 teori yang menjawab tentang ketidaksesuaian antara kehendak dan penyataan, yaitu teori kehendak, teori pernyataan, dan teori kepercayaan ( Van Dunne, 1987: 108-109 ). Ketiga teori itu , yaitu :
1.      Teori kehendak (wilstheorie)
Menurut teori kehendak, bahwa perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan.
2.      Teori pernyataan (verklaringstheorie)
Menurut teori ini, kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan.
3.      Teori kepercayaan (verirouwenstheorie)
Menurut teori ini, tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian.

B.  Kecakapan bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untukmelakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum.

C.  Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenskomst)

Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi hak kreditor (Yahya Harahap, 1986:10; Mertokusumo, 1987: 36). Prestasi ini terdiri atas :
(1) memberikan sesuatu,
(2) berbuat sesuatu, dan
(3) tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).

D.  Adanya causa yang halal (geoorloofde oorzaak)

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Di dalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum. Hoge Raad sejak tahun 1927 mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak.

2.6.    Jenis-Jenis Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Dalam Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, jenis perjanjian, yaitu :

1.      Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian sepihak

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok  bagi kedua belah pihak. Contoh dari perjanjian timbal balik antara lain :
a)   Perjanjian jual beli (koop en veerkoop), yaitu suatu persetujuan antara dua pihak, dimana pihak kesatu berjanji akan menyerahkan suatu barang dan pihak kedua akan membayar harga yang telah disetujui.
b)  Perjanjian tukar menukar (Ruil, KUH Perdata Pasal 1541 dan seterusnya), yaitu suatu perjanjian antara dua pihak, di mana pihak satu akan menyerahkan suatu barang begitu pun dengan pihak lainnya.
c)   Perjanjian sewa menyewa (Hour en verbuur, KHU Perdata Pasal 1548 dan seterusnya), yaitu suatu perjanjian dimana pihak I (yang menyewakan) memberi izin dalam waktu tertentu kepada pihak II ( si penyewa ) untuk menggunakan barangnya dengan kewajiban pihak II membayar sejumlah uang sejumlah uang sewanya.

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.

2.   Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian atas Beban

Perjanjian percuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntangan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Dengan demikian, pada perjanjian ini hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.
Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terdapat prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. Kontra prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, ataupun pemenuhan suatu suatu syarat potestatif (imbalan)

3.   Perjanjian Bernama (Benoemd) dan tidak bernama (Onbenoemde Overeenkomst.

Perjanjian bernama termasuk dalam perjanjian khusus, yaitu perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya, bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang pling banyak terjadi sehari-hari. Misalnya, Jual beli, sewa menyewa dan lainnya.
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas dan nama disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaannya, dan lainnya.

4.      Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator

Perjanjian kebendaan (zakelijk overeenkomst), adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator.
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan. Artiya, sejak terjadi perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga. Pembeli berkewajiban membayar harga, penjual berkewajiban menyerahkan barang.


5.      Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Rill

Perjanjian konsensual adalah perjanjian di mana di antara kedua belah pihak telah mencapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUH Perdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUH Perdata)
Perjanjian Riil adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya.

6.      Perjanjian Publik

Perjanjian publik adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Di antara keduanya terdapat hubungan atasan dan bawahan (subordinated), jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama (co-ordinated), misalnya, perjanjian ikatan dinas.

7.      Perjanjian Campuran

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa menyewa) tapi juga menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan.

2.7.          Akibat Hukum Perjanjian yang Sah
1.    Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (Perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.    Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak.
3.    Pelaksanaan Perjanjian dengan itikad baik.

Yang dimaksud dengan itikad baik dalam pasal 1338 KUH Perdata adalah ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta apakah pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan di atas rel yang benar 

2.8.          Fidusia
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia mengatur tentang sifat-sifat dari jaminan fidusia yang akan dijelaskan di bawah ini.
Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Sedangkan jaminan fidusia adalah hak-hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai acuan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. Ketentuan jaminan fidusia ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia, dan berikut sifat-sifat dari jaminan fidusia yang diatur dalam ketentuan undang-undang:
Jaminan fidusia bersifat accesoir, yang berarti bahwa jaminan fidusia bukan hak yang berdiri sendiri melainkan kelahiran dan keberadaannya atau hapusnya tergantung dari perjanjian pokok fidusia itu sendiri
.
Jaminan fidusia bersifat droit de suite, yang berarti bahwa penerima jaminan fidusia/kreditur mempunyai hak mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda itu berada, dengan artian bahwa dalam keadaan debitur lalai maka kreditur sebagai pemegang jaminan fidusia tidak kehilangan haknya untuk mengeksekusi objek fidusia walaupun objek tersebut telah dijual dan dikuasai oleh pihak lain;
Jaminan fidusia memberikan hak preferent, yang berarti bahwa kreditor sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan untuk mendapatkan pelunasan utang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut dalam hal debitur cedera janji atau lalai membayar utang.
Jaminan fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada, yang berarti bahwa utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Fidusia, yakni:
Utang yang telah ada, adalah besarnya utang yang ditentukan dalam perjanjian kredit;
Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu;
Utang yang pada saat eksekusi, dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.
Jaminan fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang, yang berarti bahwa benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada beberapa kreditur yang secara bersama-sama memberikan kredit kepada seorang debitur dalam satu perjanjian kredit, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Undang-undang fidusia;
Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, yang berarti bahwa kreditur sebagai penerima fidusia memiliki hak untuk mengeksekusi benda jaminan bila debitur cidera janji. Dan eksekusi tersebut dapat dilakukan atas kekuasaan sendiri atau tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Jaminan fidusia bersifat spesialitas dan publisitas, dengan maksud spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai objek jaminan fidusia dalam Akta Jaminan Fidusia, sedangkan publisitas adalah berupa pendaftaran Akta Jaminan Fidusia yang dilakukan di kantor pendaftaran fidusia;
Jaminan fidusia berisikan hak untuk melunasi utang. Sifat ini sesuai dengan fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan bila debitur cidera janji dan bukan untuk dimiliki oleh kreditur. Dan ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan kreditur;
Jaminan fidusia meliputi hasil benda yang menjadi objek jaminan fidusia dan klaim asuransi. Dan objek jaminan fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud (seperti kendaraan bermotor, mesin pabrik, perhiasan, perkakas rumah, pabrik, dan lain-lain); benda bergerak tidak berwujud (seperti sertipikat, saham, obligasi, dan lain-lain); benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan (yakni, hak satuan rumah susun di atas tanah hak pakai atas tanah negara dan bangunan rumah yang dibangun di atas tanah milik orang lain); serta benda-benda yang diperoleh dikemudian hari.

Contoh Kasus 1
Pada hari ini, Rabu 12 Januari 2007, Kami yang bertandatangan dibawah ini:
1.    PT Asal Sebut, Tbk, berkedudukan dan beralamat di jalan Sukarame No. 4 Bandar Lampung, yang dalam hal ini diwakili oleh Drs. John Grisham dalam kapasitasnya selaku Direktur Utama PT Asal Sebut, Tbk, oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama PT Asal Sebut, Tbk, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA;
2.   PT Mekar Wangi, berkedudukan dan beralamat di jalan Bumi Manti No.64, Bandar Lampung, yang dalam hal ini diwakili oleh H. Steven Chow dalam kapasitasnya selaku Presiden Direktur PT Mekar Wangi, oleh karenanya sah bertindak untuk dan atas nama PT Mekar Wangi, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA;
Bahwa pada saat ini Pihak Pertama sebagai (misalnya pemberi proyek) dan Pihak Kedua sebagai (misal pelaksana proyek) telah berselisih paham tentang pelaksanaan pembangunan proyek jalan tol bebas hambatan Kampung Baru-Kampus Unila, sesuai dengan Akta Perjanjian Kerjasama Nomor 2, tanggal 20 Maret 2006 yang dibuat dihadapan Hamzah,SH., MH, Notaris di Bandar Lampung, dimana didalam perjanjian kerjasama tersebut tidak diatur secara jelas dan lengkap cara dan tempat penyelesaian sengketa yang timbul akibat dari perjanjian tersebut.
Bahwa sehubungan dengan perselisihan paham tentang pelaksanaan proyek jalan tol bebas hambatan Kampung Baru-Kampus Unila sebagaimana tersebut di atas, bersama ini Pihak Pertama dan Pihak Kedua telah setuju dan sepakat untuk menyelesaikan pserselisihan paham tersebut melalui (misal Badan Arbitrase Nasional Indonesia), sesuai dengan peraturan dan prosedur Badan Arbitrasi Nasional Indonesia yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Bahwa selanjutnya Pihak Pertama dan Pihak Kedua telah setuju dan sepakat bahwa penyelesaian sengketa dihadapi para pihak akan diselesaikan oleh Majelis Arbiter, dimana Pihak Pertama telah menunjuk Sdr. DR. Wahyu Sasongko, sebagai arbiter dan Pihak Kedua telah menunjuk Sdr. Ir. Fadli, sebagai arbiter, selanjutnya untuk Ketua Majelis Arbiter Pihak Pertama dan Pihak Kedua telah setuju dan sepakat untuk menyerahkannya kepada Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia untuk menentukannya.
Demikian perjanjian arbitrase ini dibuat dan mengikat kedua belah pihak serta dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Contoh kasus ke 2
Perjanjiian antara penyewara rumah dengan pemilik rumah
Untuk mendapatkan rumah tempat berlindung, seseorang dapat menyewa rumah orang lain. Untuk itu diawali dengan membuat perjanjian sewa-menyewa antara pihak pemilik rumah dengan pihak penyewa. Perjanjian ini dapat dibuat secara lisan dapat pula secara tertulis. Selanjutnya sewa-menyewa rumah itu dilaksanakan sesuai dengan perjanjian sewa-menyewa yang telah dibuat.
Salah satu ketentuan sewa-menyewa yang lazim dibuat adalah pihak penyewa dilarang menyewakan ulang rumah sewa kepada pihak lain. Hal ini untuk mencegah terjadinya kerugian pada pihak pemilik rumah disebabkan perbuatan tidak bertanggung jawab pihak penyewa kedua, berupa perusakan rumah, penggunaan rumah untuk praktek asusila, dan lain-lain. Tentunya, pemilik rumah berharap, rumah yang disewakannya bermanfaat tanpa mendatangkan masalah dikemudian hari. Pelanggaran atas hal tersebut memberi hak kepada pemilik rumah untuk meminta kembali rumahnya dari pihak penyewa. Dengan kata lain pemilik rumah sewa berhak untuk membatalkan perjanjian sewa-menyewa rumah yang telah dibuatnya bersama penyewa.
Setelah pembatalan perjanjian, pihak pemilik rumah berhak mendapatkan kembali rumahnya tanpa harus mengembalikan biaya sewa. Akan tetapi hal ini sering kali tidak diterima oleh pihak penyewa. Mereka menganggap dihentikannya sewa, maka membuat mereka berhak untuk mendapatkan kembali biaya sewa yang telah diserahkan kepada pemilik rumah, sebagaimana kasus berikut ini.
Di Villa Bintaro Regency Nomor 12A RT 1 RW2 Kelurahan Pondok Kacang Timur, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten, penyewa rumah (selanjutnya disebut Penyewa 1) menyewakan kembali rumah yang disewanya kepada pihak lain (selanjutnya disebut Penyewa 2) tanpa sepengetahuan pemilik rumah. Hal ini membuat pemilik rumah merasa dirugikan, karena dalam perjanjian yang disepakati, rumah yang disewa tersebut akan dipakai sendiri oleh penyewa. Oleh karena itulah pemilik rumah sewa meminta Penyewa 2 untuk mengosongkan rumah karena dianggap tidak berhak berada di rumah itu.
Penyewa 2 yang merasa tidak bersalah, karena tidak mengetahui duduk perkara permasalahan, tidak mau pergi dari rumah. Akhirnya setelah dijelaskan duduk perkaranya, Penyewa 2 mau pergi dari rumah, jika uang sewa yang telah diberikannya kepada Penyewa 1, dikembalikan lagi utuh oleh pemilik rumah. Akan tetapi pemilik rumah tidak mau mengembalikan uang sewa, karena merasa tidak pernah menerima uang itu dan menyatakan bahwa pihak yang harus mempertanggungjawabkan hal tersebut adalah Penyewa 1.
Penyewa 1 sendiri mau mengembalikan biaya sewa Penyewa 2, jika pemilik rumah mengembalikan biaya sewa yang telah diberikannya sebelumnya. Penyewa 1 merasa bahwa pembatalan perjanjian sewa-menyewa secara sepihak oleh pemilik rumah, membuat pemilik rumah wajib mengembalikan keadaan seperti semula dengan cara mengembalikan uang sewa dan menganggap perjanjian sewa itu tidak pernah ada.
Menurut saya   penyewa pertama tidak mempunyai hak menyewakan rumah yang telah dia sewa kepada penyewa kedua, karena dalam hal sewa menyewa, penyewa pertama tidak mempunyai hak milik sepenuhnya atas rumah tersebut melainkan hanya memiliki hak pakai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan dengan pemilik rumah, jadi penyewa pertama tidak dapat berbuat bebas dalam arti mengambil keputusan atas rumah tersebut.

Syarat Membuat Perjanjian
Dari kedua contoh kasusu diatas kita dapat menarik kesimpukan bahwa didalam membuat suatu perjanjian baik secara lisan maupun tulisan kita harus melakukan beberapa hal agar dikemudian hari kedua belah pihak tidak mengalami kerugian.  Misalkan kita ingin meminjam uang dari suatu Bank atau Koperasi untuk membuka usaha ataupun untuk tambahan modal usaha kita  maka kita akan membuat suatu perjanjian antara kreditur dan debitur atau yang disebut dengan jaminan.
Hal – hal yang perlu kita lakukan yaitu :
1.      Membuat proposal
2.      Melampirkan jaminan kredit yaitu :
·         Akta pendirian perusahaan.
·         Bukti diri (KTP) para pengurus dan pemohon kredit.
·         Tanda Daftar Perusahaan (TDP) merupakan selembar sertifikat yang dikeluarkan oleh departemen Perindustrian dan Perdagangan, masa berlakunya biasanya 5 tahun dan jika masa berlakunya habis dapat diperpanjang kembali.
·         NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) merupakan surat tentang wajib pajak yang dikeluarkan oleh Departemen Keuangan.
·         Neraca dan laporan rugi laba 3 tahun terakhir.          
·         Foto Copy sertifikat dijadikan jaminan.

3.      Membuat surat perjanjian mengenai pembayaran Hutang yang ditandatangani oleh kedua belah pihak diatas materai


  
BAB III
Penutup

3.1.    Kesimpulan

Dari pemaparan diatas, maka penulis memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1)      Menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Itu berarti bila seseorang atau lebih menbuat suatu ikatan terhadap seseorang, orang tersebut bisa dikatakan sudah membuat suatu perjanjian.
2)      Asas dimaknai sebagai hal-hal mendasar yang menjadi latar belakang lahirnya suatu norma atau aturan atau kaidah. Sebelum membuat suatu aturan biasanya ditentukan dahulu asasnya yang biasanya lebih bersifah filosofis.
3)      Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara Debitur dengan Kreditur (dalam hal ini Bank) yang melahirkan hubungan  hutang piutang, dimana Debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan berdasarkan syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.
4)      Akibat Hukum Perjanjian yang Sah
1.    Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (Perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.    Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
3.    Pelaksanaan Perjanjian dengan itikad baik
5)      Dari definisi yang diberikan jelas bagi kita bahwa Fidusia dibedakan dari Jaminan Fidusia, dimana Fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.


  

Referensi
1.      Budiono, Herlien,2010,” Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan”, Bandung : Citra Aditya.
2.      Mertokusumo, Sudikno,2002, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW)”, Yogyakarta : Sinar Grafika.
3.      Muhammad, Abdulkadir (2011), “Hukum Perdata Indonesia” ,Bandung: Citra Aditya Bakti.
4.      http://ihsan26theblues.wordpress.com/2011/06/02/hukum-perjanjian/
8.      https://avousman.wordpress.com/2013/04/09/hukum-perjanjian-dan-contoh-kasus/

















0 komentar:

Posting Komentar