PENGARUH INFLASI TERHADAP KINERJA PEMBIAYAAN BANK SYARIAH, VOLUME PASAR UANG ANTAR BANK SYARIAH, DAN POSISI
OUTSTANDING SERTIFIKAT WADIAH BANK
INDONESIA
Saekhu
Abstrak
Berdasarkan pengujian yang
menggunakan metode Vector Autoregression (VAR) ternyata variabel INF mempunyai
pengaruh positif terhadap variabel FDR, NPF, VPUAS dan OSWBI. Berikut
dijelaskan beberapa intisari dari hasil pengujian penelitian ini. Inflasi berpengaruh positif
terhadap Financing to Depocit Ratio (FDR), volume transaksi Pasar Uang
Berdasarkan Prinsip Syariah (VPUAS) dan posisioutstanding Sertifikat Wadiah
Bank Indonesia (OSWBI). Meskipun demikian pengaruhnya sangat kecil, tidak
signifikan dan hanya berlangsung dalam jangka pendek saja. Bahkan
variabel-variabel tersebut lebih dipengaruhi oleh kinerjanya di masa lalu.Tidak
signifikannya pengaruh variabel INF terhadap variabel FDR, dan VPUAS disebabkan
masih kecilnya kedudukan perbankan syariah sebagai faktor yang dapat
mempengaruhi peredaran uang di Indonesia.
Keywords: Inflasi, Pembiayaan Bank Syariah, Pasar
Uang, Wadiah
Pendahuluan
Salah satu faktor yang „mengganggu‟ pertumbuhan ekonomi Indonesia
selama ini adalah
faktor inflasi. Dalam
jangka pendek inflasi bisa menguntungkan bagi produsen
karena akan menaikkan tingkat harga sehingga produsen akan
meningkatkan produksinya. Tetapi, masalahnya inflasi
di Indonesia sangatlah kompleks,
tinggi dan tidak stabil. Soegiharso dan Gitaharie,
menunjukkan bahwa inflasi pada tingkat tertentu
(di bawah nilai treshold) ,
diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam kebijakan moneter di Indonesia, kenaikan tingkat inflasi
akan direspon oleh otoritas moneter dengan mengeluarkan kebijakan moneter yang
bersifat kontraktif seperti menaikkan tingkat suku bunga SBI. Sehingga
perbankan konvensional dapat menanamkan dananya ke dalam SBI dengan tingkat
bunga yang tinggi tanpa risiko yang tinggi.
Meskipun inflasi dapat menurunkan
pemberian kredit ke sektor riil, kalangan perbankan (konvensional) tetap dapat
meraih pendapatan yang tinggi dari bunga SBI. Keadaan ini berbeda dengan
keadaan perbankan syariah. Bank syariah adalah lembaga keuangan yang tidak
mengenal bunga sebagai pendapatannya. Sehingga perbankan syariah tidak dapat
menempatkan likuiditasnya ke dalam SBI. Bahkan tingkat bonus Sertifikat wadiah
Bank Indonesia (SWBI) jauh lebih rendah dari pada tingkat bunga SBI.
Pengaruh kebijakan moneter „konvensional‟ terhadap perbankan syariah ditemukan bahwa padakontraksi moneter berupa kenaikan suku bunga SBI
akan mengakibatkan pengurangandeposito, penurunan pembiayaan, serta pengurangan
likuiditas perbankan syariah. Dalam menghadapi tingkat inflasi, perbankan
syariah menghadapi dua masalahutama yaitu, pertama,
dari sisi penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK). Kenaikan tingkat inflasi akan
meningkatkan suku bunga deposito. Sehingga suku bunga deposito di
perbankankonvensional lebih tinggi dan menarik daripada return dari perbankan
syariah. Return yang lebih tinggi di
perbankan konvensional akan meningkatkan displacement
atau pengalihan dana yang besar dari perbankan syariah ke perbankan
konvensional. Biasanya yang melakukan displacement
ini adalah nasabah korporasi. Penurunan (pertumbuhan) DPK ini akan
mengurangi kemampuan bank syariah dalam mengelola likuiditasnya untuk
meningkatkan pendapatan karena penurunan DPK akan menyebabkan penurunan lending capacity (Total liabilities dikurangi Giro Wajib Minimum, Cash in vault dan modal).1 Permasalahan
yang kedua muncul dari sisi pembiayaan. Bagi dunia usaha, sebagai produsen
barang dan jasa, inflasi dapat tmenguntungkan bila pendapatan yang diperoleh
lebih tinggi dari pada kenaikan biaya
produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan
produksinya. Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya
|
|
|
1 Juda Agung, dkk, Credit Crunch di Indonesia Setelah Krisis: Fakta, Penyebab, dan
Implikasi Kebijakan, Jakarta: Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan
Moneter Bank Indonesia, 2001, hlm. 19.
produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka
produsen enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan
produksinya untuk sementara waktu, bahkan bila tidak sanggup mengikuti laju
inflasi, produsen bisa mengalami kerugian usaha. Sehingga akan berdampak pada
kinerja keuangannya yang menurun.
Dampak inflasi lebih lanjut akan
menyebabkan tingginya risiko default.
Risiko ini akan meningkatkan Non
Performing Financing (NPF) perbankan
syariah. Jika pembiayaannya berdasarkan akad bagi hasil dimana jika
pihak debitor mengalami kerugian usaha maka kerugian ini juga ditanggung oleh
bank syariah (risk sharing). Jika
jenis pembiayaannya adalah akad jual beli (murabahah) maka tingginya inflasi
dapat membuat produk pembiayaan syariah
secara umum menjadi relatif lebih mahal.
Tingginya risiko pembiayaan (dan
atau lemahnya absorpsi sektor riil) akan menyebabkan perbankan syariah bisa
mengurangi penyaluran dana ke sektor riil. Sehingga perbankan syariah akan
menempatkan kelebihan likuiditasnya ke dalam SWBI atau Sertifikat Investasi
Mudharabah Antarbank (IMA) di Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS). Pemindahan
portofolio ke dalam PUAS dan SWBI merupakan cerminan darisifat bisnis perbankan
syariah di Indonesia yang masih risk averse.
Oleh karena itu berdasar perspektif
di atas, akan mencoba menganalisis seberapa besar pengaruh gejolak inflasi
terhadap kinerja likuiditas perbankan syariah dalam hal pembiayaan (FDR dan
NPF) dan penempatan dana di dalam PUAS dan SWBI. Sedangkan tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh inflasi terhadap tingkat Financing to
Depocit Ratio (FDR) perbankan Syariah,
tingkat Non Performing Financing (NPF) perbankan syariah, volume transaksi
Pasar Uang Antar BankSyariah (PUAS), dan posisi outstanding Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
Inflasi
Inflasi adalah kecenderungan dari
harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan beberapa
komoditi saja tidak disebut inflasi,
kecuali bila kenaikan
tersebut meluas kepada
atau mengakibatkan
kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain.
Keadaan harga yang terusmenerus berarti bahwa kenaikan harga-harga karena
bersifat musiman atau sesekali saja atau
tidak mempunyai pengaruh lanjut tidak disebut
inflasi.
Indikator inflasi adalah ukuran yang
digunakan untuk menghitung nilaiinflasi untuk mengetahui tingkat inflasi pada
waktu tertentu.Indikator inflasiumumnya dihitung dengan menggunakan angka
indeks sekelompok harga barang danjasa.Secara umum ada tiga indikator inflasi
yaitu IHK, IHPB dan PDB deflator.Pada skripsi ini indikator yang digunakan adala
IHK.IHK pada umumnya digunakan untuk mengukur perubahan harga (pricechanges), biaya hidup (cost of living), daya beli (purchasing power) dan tingkat inflasi (general measure of inflation).
Penjelasan penggunaan inflasi IHK dijabarkan sebagai berikut:
·
Sebagai alat ukur perubahan harga (Price Changes), IHK digunakan untuk
mengukur perubahan harga dari sekelompok atau sekeranjang barang dan jasa yang
dikonsumsi oleh rumah tangga.
·
Sebagai alat ukur biaya hidup (Cost of Living), IHK digunakan untuk
mengukur perubahan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan sekelompok barang
dan jasa yang memberikan tingkat kepuasan yang sama, sejalan dengan perubahan
preferensi rumah tangga.
·
Sebagai alat ukur daya beli (Purchasing Power), IHK adalah indikator
untuk mengukur seberapa banyak barang dan jasa yang dapat dibeli dari sejumlah
uang tertentu.
·
Sebagai alat ukur inflasi (general measure of inflation), IHK
mengukur perubahan harga dalam suatu perekonomian.
Di Indonesia, IHK digunakan sebagai
indikator untuk mengukur perkembanganhargasecara umum.
Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
Undang-undang No.23 tahun 1999
mengamanatkan bahwa dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia harus
mengakomodasi perkembangan bank-bank Syariah. Seiring dengan kian berkembangnya
bank- bank Syariah di Indonesia, Bank Indonesia menerapkan instrumen moneter
Syariah dengan menggunakan prinsip wadi‟ah (titipan)
yaitu Sertifikat Wadi‟ah Bank Indonesia (SWBI) yang bertujuan
untuk menarik kelebihan
likuiditas
bank Syariah. Dari sisi bank syariah sendiri, SWBI ini dapat dijadikan sebagai sarana penitipan dana
jangka pendek.
SWBI bukanlah SBI dengan prinsip
syariah, karena SWBI bukan surat berharga dan hanya sekedar bukti penitipan
dana jangka pendek dengan prinsip wadi‟ah. Bank Indonesia
hanya memberikan
bonus (return) kepada bank pemegang SWBI sepanjang
penitipan tersebut diperlukan dalam rangka kontraksi moneter berdasarkan
prinsip syariah. Dengan demikian SWBI
tidak dimaksudkan untuk memberikan
sinyal tingkat “return
syariah” sebagai pengganti tingkat
suku bunga pada SBI.
Pasar Uang Antarbank
berdasarkan prinsip Syariah (PUAS)
Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
merupakan kegiatan pinjam meminjam dana antara satu bank dengan bank lainnya.
Dimana bank yang mempunyai kelebihan dana (surplus
unit) akan meminjamkan dana kepada bank yang kekurangan dana (deficit unit) dengan memberikan
kompensasi/imbalan tertentu. Transaksi dalam PUAB biasa dilakukan oleh
perbankan dalam kegiatan sehari-hari untuk menutupi kekurangan pendanaan (mismatch) jangka pendek.
Selain itu, pemain-pemain dalam PUAB
sendiri adalah bank-bank konvensional yang mendapatkan pendapatannya berupa
bunga. Sehingga pendapatan untuk transaksi dalam PUAB juga berupa bunga.
Kondisi ini membuat bank syariah tidak bisa masuk ke dalam PUAB. Padahal
sebagaimana layaknya lembaga bank lainnya, banksyariah membutuhkan adanya
sarana PUAB antar bank syariah sendiri untuk mengelola likuiditasnya secara
efisien dan optimal.
Untuk memberikan perlakuan yang
setara kepada bank syariah, Bank Indonesia mulai mengeluarkan instrumen PUAB
yang sesuai syariah yang dimulai ketika bank syariah di Indonesia hanya Bank
Muamalat, dengan mengeluarkan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) mudharabah.
Instrumen Investasi Mudharabah
Antarbank (IMA)
Instrumen yang digunakan dalam PUAS
saat ini adalah Sertifikat Investasi Mudharabah Antar-bank (IMA). Hal ini
berarti akad yang digunakan adalah mudharabah (bagi hasil) di mana keuntungan
akan dibagikan kepada kedua belah pihak (pembeli dan penjual sertifikat IMA)
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Tingkat Indikasi Imbalan
PUAS adalah rata- rata tertimbang tingkat indikasi imbalan sertifikat investasi
mudharabah antarbank yang terjadi di PUAS, yang tercatat pada Pusat Informasi
Pasar Uang (PIPU).
Bank penjual menggunakan metode profit sharing (pembagian keuntungan)
dan jika mengalami kerugian maka bank pembeli tidak akan memperoleh imbalan.
Sepanjang kerugian itu bukan disebabkan oleh kecurangan atau kelalaian bank
penerbit, maka bank penanam dana akan menanggung kerugian itu maksimum sebesar
nilai nominal investasi. Sertifikat IMA diterbitkan oleh kantor pusat Bank
Syariah bagi bank yang seluruh kegiatannya berdasarkan prinsip syariah dan UUS.
Meski demikian, bank konvensional juga dapat berpartisipasi dalam PUAS. Tetapi
bank konvensional hanya dapat berperan sebagai pembeli sertifikat IMA.
Sedangkan bank umum Syariah maupun UUS dapat bertindak sebagai penerbit maupun
sebagai pembeli sertifikat IMA masing-masing melalui kantor pusat dan UUS-nya.
Kerangka Pemikiran
Secara umum, inflasi tentu akan
berpengaruh terhadap transaksi di lembaga keuangan. Inflasi yang tercermin dari
perubahan indeks harga secara umum di suatu negara akan mempengaruhi biaya dan
pendapatan secara riil. Nilai pendapatan secara riil akan berkurang akan
inflasi. Meskipun berpengaruh terhadap
sektor jasa keuangan, seperti yang dikutip English, tingkat inflasi yang lebih
tinggi akan meningkatkankapasitas sektor jasa keuangan karena masyarakat akan
mengurangi transaksi riil.Pengaruh inflasi terhadap industri jasa keuangan
teraplikasi lewat channel BI rate.BI
rate digunakan Bank Indonesia dalam pelaksanaan kebijakan moneternya. BI rate
sebagai indikator tingkat
suku bunga pasar
besarannya dipengaruhi oleh
tingkat inflasi.2 BI rate
kemudian akan mempengaruhi suku bunga pasar uang antarbank hingga deposito.
Bagaimana dengan pengaruhnya terhadap lembaga keuangan syariah, khususnya bank
syariah. Bank syariah tidak mengenal bunga sebagaireturnnya. Inflasi akan berpengaruh terhadap kinerja lembaga
keuangan syariah. Seperti yang diungkapkan oleh teori bejana berhubungan.3 Kebijakan
moneter „konvensional‟ akan mempunyai pengaruh terhadap
perbankan syariah seperti misalnya
tingkat sukubunga SBI. Salah satu sebabnya adalah aset perbankan syariah yang tergolong kecil.
Aset industri perbankan syariah masih sebesar Rp. 22,8 triliun atau hanya 1,49
persen dari industri perbankan nasional. Sehingga fluktuasi di tingkat makro
”konvensional” akan berdampak langsung terhadap kinerja perbankan syariah.
Temuan ini juga diungkapkan oleh
Pramuraharjo yang dalam tesisnya ditemukan bahwa pada kontraksi moneter berupa
kenaikan suku bunga SBI akan mengakibatkan pengurangan deposito, penurunan
pembiayaan, serta pengurangan likuiditas perbankan syariah. Putri menambahkan
bahwa tingkat suku bunga SBI juga berpengaruh positif terhadap posisi SWBI.
Kenaikan inflasi lebih berpengaruh kepada penurunan DPK perbankan syariah.
Mayoritas pangsa konsumen perbankan syariah adalah golongan pasar mengambang (floating market). Golongan ini adalah
golongan konsumen yang lebih bersifat returnoriented.
Kenaikan tingkat inflasi tentu akan meningkatkan suku bunga deposito. Sehingga
suku bunga deposito di perbankan konvensional lebih tinggi dan menarik daripada
return dari perbankan syariah. Return yang lebih tinggi di perbankan
konvensional akan meningkatkan displacement
atau pengalihan dana yang besar dari perbankan syariah ke perbankan
konvensional. Biasanya yang melakukan displacement
ini adalah nasabah korporasi. Penurunan pertumbuhan DPK ini akan mengurangi
kemampuan bank syariah dalam mengelola likuiditasnya untuk meningkatkan pendapatan
karena penurunan DPK akan menyebabkan penurunan lending capacity. Penurunan DPK
tentu akan mempengaruhi
pengelolaan likuiditas.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini
berangkat dari pengaruh negatif inflasi terhadap pembiayaan perbankan syariah.
Sehingga pengelolaan likuiditas bank syariah lebih diarahkan pada instrumen
yang lebih rendah risiko. Bank Syariah menghadapi dilema pengelolaaan
likuiditas. Jika menyalurkan ke sekotor riil, maka risiko defaultnya tinggi.Tetapi jika ditanamkan ke dalam SWBI atau IMA
maka return yang didapat rendah dan memarjinalkan fungsi intermediasi bank
syariah. Diasumsikan bahwa bank syariah lebih memilih kemungkinan yang kedua
karena bank syariah masih dalam tahap early
growth. Sehingga bank syariah lebih memilih untuk mengelola portofolio
dengan risiko yang rendah agar tidak menganggu sustainibilitas permodalan
internalnya. Berikut disajikan beberpa hipotesis yang diuraikan berdasarkan
variabel penelitian.
1.
Hipotesis pengaruh inflasi terhadap
tingkat Financing to Depocit Ratio (FDR) perbankan syariah
Terdapat
pengaruh negatif antara inflasi dengan tingkat Financing to Depocit Ratio (FDR) perbankan syariah
2.
Hipotesis pengaruh inflasi terhadap
volume transaksi Pasar Uang Antar Bank Syariah(PUAS)
Terdapat pengaruh positif antara inflasi dengan volume transaksi
Pasar UangAntar Bank Syariah (PUAS)
3.
Hipotesis pengaruh inflasi terhadap
posisi outstanding Sertifikat Wadiah
Bank Indonesia(SWBI)
Terdapat pengaruh positif antara inflasi dengan posisi outstanding
SertifikatWadiah
Bank Indonesia (SWBI)
Lingkup Penelitian
Data yang digunakan dalam studi ini
adalah data sekunder berupa time series bulanan
yang didapat dari Statistik Perbankan Syariah (SPS), Laporan Perekonomian
Indonesia (LPI), Statistik
Ekonomi dan Keuangan Indonesia
(SEKI) terbitan Bank Indonesia (SEKI-BI) dan beberapa
data terbitan dari Biro Pusat Statistik (BPS). Periode pengumpulan data
dilakukan mulai dari Bulan September 2006 hingga September 2014. Satuan data
yang digunakan berupa milyaran Rupiah dan persentase. Satuan data dalam
milyaran Rupiah digunakan oleh variable VPUAS dan OSWBI sedangkan satuan data
dalam bentuk persentase digunakan variabel INF, FDR dan NPF Untuk menghilangkan
permasalahan satuan data yang berbeda, satuan data dalam bentuk milyaran Rupiah
terlebih dahulu dirubah dalam bentuk logaritma.
Variabel penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.
Tingkat Inflasi IHK
(INF)
Tingkat inflasi IHK merupakan penghitungan tingkat
inflasi di Indonesia atas dasar indikator pergerakan harga rata-rata dari
barang-barang pada tingkat konsumen akhir yang terjadi diperdagangkan di suatu
daerah yang dihitung secara bulanan.
2.
Financing To Deposit Ratio (FDR)
FDR merupakan rasio (persentase) antara Dana Pihak
Ketiga (DPK) yang diterima oleh bank syariah dibandingkan dengan jumlah
pembiayaan yang disalurkan.
3.
Non Performing Financing (NPF)
NPF merupakan besarnya persentase pembiayaan macet yang
berasal dari debitor yang tidak mampu melunasi kewajibannya sesuai dengan
kesepakatan awal.
4.
Volume transaksi PUAS (VPUAS)
Volume transaksi PUAS merupakan jumlah transaksi yang
dilakukan dalam PUAS dengan menggunakan instrumen IMA.Satuan data PUAS adalah
milyaran Rupiah.
5.
Posisi outstanding
SWBI (OSWBI)
Outstanding SWBI adalah jumlah dana perbankan syariah yang ditempatkan di Bank Indonesia.
Model penelitian
Model yang digunakan dalam
penelitian adalah berbentuk model bivariat
: {INF, FDR},
{INF, NPF}, {INF,
VPUAS}, {INF, OSWBI}.
Penjabaran dari model-model bivariat tersebut
disajikan sebagai :
1.
Pengaruh inflasi (INF) terhadap
tingkat Financing to Depocit Ratio (FDR) perbankan Syariah
2.
Pengaruh inflasi (INF) terhadap
tingkat Non Performing Financing (NPF) perbankan syariah
3.
Pengaruh inflasi (INF) terhadap
volume transaksi Pasar Uang Antar Bank Syariah
(VPUAS)
4.
Pengaruh (INF) inflasi terhadap
posisi outstanding Sertifikat Wadiah
Bank Indonesia (OSWBI)
Definisi dan ruang lingkup VAR
Model-model ekonometri biasanya
berbentuk model struktural. Model-model ini dibentuk berdasarkan suatu teori
ekonomi. Tetapi, kadang kala teori ekonomi tidak dapat menjelaskan suatu
fenomena atau mendeskripsikan hubungan antar variabel yang ingin diuji sesuai
dengan landasan teorinya secara tepat. Dengan demikian penggunaan teori ekonomi
saja ternyata tidak cukup dalam menyediakan spesifikasi yang tepat terhadap
hubungan dinamis antar variabel atas terjadinya suatu fenomena.
Bahkan ada beberapa teori ekonomi
yang saling berbeda dalam menjelaskan suatu fenomena. Sehingga seringkali
pemodel bersandar pada data dalam menentukan struktur dinamik modelnya. Selain
itu proses estimasi dan inferensi bisa menjadi lebih rumit karena terdapatnya
variabel endogen di kedua sisi persamaan
(endogenitas variabel di sisi dependen dan independen). Oleh karena itu,
dibutuhkan metode lain yang tidak banyak tergantung pada teori dalam penyusunan
model sebagai jalan keluar akan dilema ini.
VAR merupakan teknik yang dapat
menjawab tantangan tersebut. VAR merupakan metode lebih lanjut sebuah sistem
persamaan simultan yang bercirikan pada pemanfaatan beberapa variabel ke dalam
model secara bersama-sama. Jika dalam persamaan simultan terdapat variabel endogen
dan eksogen, maka dalam VAR setiap variabel dianggap simetris, karena sulit
untuk menentukan secara pasti apakah suatu variabel bersifat endogen atau
eksogen.
Selain itu VAR (Vector
Autoregression) secara luas juga digunakan untuk sistem forecasting yang berkaitan dengan kurun
waktu dan untuk menganalisis dampak dinamis dari gangguan acak (random disturbance) terhadap sistem
variabel.
Analisis dalam penelitian ini
menggunakan Vector Autoregresion karena beberapa hal di bawah ini :
1.
Model VAR dapat menjelaskan
hubungan jangka panjang simultan antar variable penelitian dengan lebih baik
dari pada regresi linier.
2.
Penelitian ini memasukkan variabel
makro ekonomi sebagai variabel yang akan diteliti pergerakannya, yaitu inflasi.
Padahal menurut Rao, sebagian dari data
makroekonomi mempunyai sifat non stasioner dan causality dan metode VAR lebih dapat menangkap hubungan jangka
panjang pada variable makro ini lebih baik daripada metode regresi linier.
Penggunaan model VAR dalam studi ini
mengacu pada beberapa referensi terutama dari kajian-kajian ekonomi moneter
yang membahas pengaruh variabel makroekonomi dan kebijakan moneter terhadap
kinerja variabel-variabel keuangan di sektor mikro serta transmisi moneter.
Beberapa riset terdahulu yang menggunakan model VAR antara lain Holtemoller
yang menggunakan IRF VAR suku bunga kredit dan kredit terhadap perubahan
variabel moneter. Arsana menggunakan VAR untuk melihat pengaruh nilai tukar
terhadap aliran kredit dan mekanisme transmisi kebijakan moneter jalur kredit.4 Selain itu juga terdapat
Fung yang menggunakan model
VAR untuk
Uji Stasioneritas Data
Berdasarkan grafik 4.1, periode yang digunakan dalam
penelitian ini memiliki beberapa structural
break, karena itu uji unit rootnya tidak menggunakan Augmented Dickey Fuller test, melainkan dengan Phillip Pheron (PP). Nilai statistik PP dibandingkan dengan nilai
kritis (critical value) MacKinnon untuk mengetahui derajat
integrasi stasioneritas suatu variabel. Suatu variabel disebut stasioner pada
integrasi tertentu jika nilai PP lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon.
Dengan membandingkan nilai PP dengan
nilai kritis, dapat dilihat keberadaan unit root dari setiap variabel yang
digunakan dalam model. Setelah diadakan uji unit root, maka diketahui bahwa
INF, FDR, OWSBI, dan VPUAS tidak
stasioner pada tingkat level. Setelah dilakukan uji unit root pada 1st difference barulah semua series
menjadi stasioner, baik pada alpha 1%, 5% maupun 10%.Karena itu, series ini
dapat dilanjutkan pada tahapan berikutnya dengan menggunakan VAR in difference.
Di bawah ini
adalah hasil uji unit root menggunakan metode PP pada
1st
difference dari semua variabel:
Penentuan selang optimal (optimal
lag)
Lag optimal adalah lag yang maksimum
yang dapat diterima oleh sistem VAR yang stabil karena proses ini dilakukan
untuk mencari lag maksimum yang dapat memberikan informasi yang cukup untuk
melakukan uji-uji selanjutnya sekaligus menghindari parameter yang berlebihan (overparameterization).
LR:
sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final
prediction error
AIC: Akaike
information criterion SC: Schwarz information criterion
HQ:
Hannan-Quinn information criterion
Sumber:
Data sekunder yang diolah, 2015.
Setelah diketahui bahwa lag maksimum
pada berbagai model bivariat maka dilakukan uji seleksi lag agar dari banyaknya
lag yang ditawarkan, lag yang paling optimum dapat segera ditentukan. Penentuan lag optimal
yang
digunakan dalam penelitian ini berdasarkan lag
terpendek dengan menggunakan Hannan Quinnon (HQ). Hasilnya
menunjukkan bahwa model persamaan mengalami lag optimal pada lag 2 (Tabel 4.2).
Pengujian
hubungan kointegrasi
Alternatif uji kointegrasi yang
sekarang banyak digunakan adalah uji kointegrasi yang dikembangkan Johansen.Uji
yang dikembangkan Johansen dapat digunakan untuk menentukan kointegrasi
sejumlah variabel.hasil uji kointegrasi Johansen dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Pada Tabel 4.3. hasil uji
kointegrasi menunjukkan nilai absolut Trace
Statistic lebih besar dari nilai kritis pada tingkat signifikansi 5 persen.
Dari hasil uji kointegrasi Johansen, dapat disimpulkan bahwa variabel Inflasi (INF), FDR, suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan tingkat bagi hasil pinjaman pasar uang
antarbank syariah (PUAS) saling berkointegrasi pada tingkat signifikansi 5
persen.
Bentuk urutan variabel (ordering)
Suatu sistem VAR yang stabil dan
baik akan memberikan output yang konsisten, terlepas pada bentuk ordering
variabelnya. Kondisi ini baru terjadi
apabila korelasi di antara residual variabel di dalam
sistem memiliki nilai lebih kecil dari 0,2 karena nilai korelasi yang lebih
besar dari 0,2 mengindikasikan kebutuhan akan ordering variabel.
Implementasi VAR
Implementasi VAR untuk mengetahui pengaruh inflasi
terhadap FDR, NPF, Volume transaksi PUAS dan posisi outstanding SWBI menggunakan variance
decomposition dan impulse response.Berikut dibawah ini adalah penjelasan
dari uji hipotesis yang dilakukan dengan dua metode, yaitu Variance Decomposition (VED) dan Impulse Response Function (IRF).
Estimasi Model VAR
Persamaan di bawah ini menunjukkan
hasil estimasi model VAR. Dalam
penelitian ini, digunakan empat model VAR sesuai dengan jenis suku bunga
perbankan yang digunakan.
Pengaruh INF terhadap FDR
Dari Hasil analisa variance decomposition model INF dan FDR
dapat disimpulkan bahwa INF tidak secara signifikan mempengaruhi FDR. FDR lebih
dipengaruhi oleh kinerjanya di masa lalu. Bahkan pengaruh inflasi terhadap FDR
perbankan syariah hanya berlaku dalam jangka pendek. Hal ini dapat dilihat
dengan nilai Standar Error (SE) yang
cukup tinggi. Tidak signifikannya pengaruh inflasi terhadap FDR dikarenakan
bank syariah tidak memakai mekanisme suku bunga. Sehingga tingkat bagi hasil
atau marjin laba produk bank syariah tidak harus
‟menyesuaikan‟ diri
dengan tingkat inflasi seperti layaknya tingkat suku
bunga bank konvesional. Untuk melihat respon variabel FDR terhadap perubahan
INF. Di bawah ini adalah grafik IRF dari
variabel INF terhadap FDR:
Grafik IRF accumulated responses
dari variabel INF terhadap variabel FDR mempunyai slope positif. Hal ini
berarti pergerakan inflasi searah dengan pergerakan FDR perbankan syariah.
Meskipun demikian pengaruhnya tidak terlalu signifikan karena grafiknya tidak
naik dengan tajam. Hasil pengujian berarti mematahkan hipotesis awal penelitian
yang menyatakan bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap FDR perbankan syariah.
Tingkat suku bunga bank konvensional mengacu pada tingkat BI rate yang
merupakan indikator suku bunga pasar di mana BI rate sudah mengakomodir tingkat
inflasi. Sehingga tingkat suku bunga pasar pasti lebih besar dari pada tingkat
inflasi supaya nilai riilnya lebih tinggi untuk meNdapatkan marjin keuntungan
riil.
Tetap naiknya FDR perbankan syariah
ketika terjadi kenaikan inflasi menandakan
bahwa
perbankan syariah tidak terlalu ‟takut‟ akan kehadiran inflasi dalam
hal penyaluran pembiayaan. Penyaluran pembiayaan harus tetap dilakukan bank
syariah karena jika tidak akan menghadapi risiko bleeding karena alternatif penempatan likuiditasnya masih terbatas.
Bleeding merupakan kondisi dimana
bank tidak dapat membayar return dari
investasi (deposito) nasabah karena bank tidak dapat mengelola dana nasabah
tersebut untuk memberikan keuntungan bagi bank
sehinga bank dapat
membayar return untuk nasabah. Tetapi sayangnya,
jika dilihat dari
komposisi pembiayaan perbankan syariah,
masih didominasi oleh pembiayaan murabahah. Padahal pola pembiayaan berbasis bagi hasil merupakan
esensi pembiayaan bank syariah. Pembiayaan berbasis bagi hasil lebih condong
untuk menggiatkan sektor riil karena meningkatkan hubungan langsung dan
pembagian risiko antara bank syariah dengan debitor. Bahkan pengembangan produk
yang terjadi di perbankan syariah lebih berbasis pada produk layanan konsumen (consumer banking) seperti produk
pembiayaan perumahan.
Masih dominannya pembiayaan berbasis
murabahah memuat bank syariah masih
bersifat risk avoide. Apalagi
portofolio pembiayaan bank syariah juga didominasi financing kepada sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan penggunaannya untuk kebutuhan modal
kerja. Padahal menurut Rosly dalam skema mudharabah,
inflasi bukan perhatian utama. Karena dalam mudharabah,
keuntungan tidak ditentukan di awal kontrak, tetapi direalisasikan sejalan
dengan kondisi ekonomi. Ketika terjadi inflasi, tingkat harga naik, penjualan
dan keuntungan diperkirakan naik juga. Dalam sisi liabilitas, kenaikan inflasi akan meningkatkan return mudharabah.6
Penyaluran pembiayaan berbasis bagi
hasil lebih menggunakan pola linkage bank
syariah dengan lembaga keuangan lainnya seperti BPRS, koperasi dan pegadaian.
Peningkatan kerjasama linkage ini
merupakan salah satu sarana yang membuat penyaluran likuiditas bank syariah
tetap tinggi. Kenaikan inflasi lebih berpengaruh kepada penurunan DPK perbankan
syariah. Penurunan DPK terjadi karena tingkat suku bunga deposito perbankan
konvensional menjadi tinggi. Kenaikan tingkat suku bunga deposito perbankan
konvensional menyebabkan peningkatan risiko displacement
atau pengalihan dana dari bank syariah ke bank konvensional. Penurunan DPK
bisa mengurangi lending capacity bank
syariah.
Pengaruh INF
terhadap VPUAS
Dari tabel variance decomposition di atas dapat diketahui bahwa pengaruh INF
terhadap VPUAS sangat kecil. Dilihat dari Standard
Error-nya, pengaruhnya pun hanya terjadi dalam jangka pendek saja.
Meskipun semakin lama pengaruhnya semakin meningkat. Variabel VPUAS lebih dipengaruhi oleh kinerjanya dimasa lalu.Grafik 4.2.IRF INF terhadap VPUAS
Grafik accumulated response dari variabel INF terhadap variabel VPUAS
mempunyai slope positif yang dimulai
pada bulan ke 2. Hal ini menandakan bahwa pergerakan volume transaksi VPUAS
bergerak searah dengan laju inflasi yang
berarti kebutuhan likuiditas jangka pendek bank syariah naik pada saat terjadi
inflasi. Walaupun secara nasional perbankan syariah terlihat likuid namun per
masing-masing bank bukan tidak mungkin terdapat bank yang kekurangan likuiditas.
Naiknya kebutuhan likuiditas
sementara terjadi karena bank permodalan
bank syariah masih rentan terhadap adanya shock
dalam perekonomian meskipun pengaruhnya tidak secara langsung.Karena
inflasi, meskipun pengaruhnya kecil bagi bank syariah, dapat meningkatkan
risiko default debitor dan
menyebabkan terjadi temporary illikuid.
Kekhawatiran ini diakibatkan oleh
masih rendahnya modal bank syariah.
Apalagi biasanya pihak yang bermain sebagai penjual sertifikat IMA adalah Unit
Usaha Syariah (UUS). Modal UUS masih ditunjang oleh bank induknya, sehingga
UUS sangat hati-hati
(prudent) dalam
manajemen
pembiayaannya ketika terjadi gejolak dalam perekonomian agar modal
(CAR) tidak turun.
Pengaruh INF terhadap OSWBI
Dari hasil dekomposisi varians
variabel INF terhadap OSWBI dalam 12 periode diketahui bahwa variabel INF
mempengaruhi variabel OSWBI secara signifikan dan semakin panjang periodenya
pengaruh itu semakin kuat. OSWBI sendiri
secara signifikan dipengaruhi oleh pergerakan nilainya dimasa lalu.
Grafik accumulated response dari variabel INF terhadap variabel OSWBI
mempunyai slope negatif yang dimulai pada bulan ke-8 sehingga dapat diartikan bahwa setiap kenaikan posisi INF,
akan direspon dengan kenaikan SWBI. Kenaikan outstanding SWBI ketika terjadi kenaikan inflasi disebabkan SWBI
tidak mempunyai risiko default.
Tetapi karena bonus yang diberikan dari penempatan dana di SWBI kecil maka
proporsi penempatan dana di SWBI juga
tidak besar. Selain disalurkan untuk melakukan ekspansi pembiayaan, DPK juga dipakai
untuk tujuan investasi fisik
seperti melakukan perluasan
jaringan kantor dan layanan perbankan dan menutup biaya operasional
karena peningkatan biaya pembentukan cadangan penghapusan atas risiko kerugian.
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh dari inflasi IHK (INF) terhadap kinerja pembiayaaan
perbankan syariah yang diukur dengan kriteria Financing to Depocit Ratio (FDR), volume transaksi Pasar Uang
Berdasarkan Prinsip Syariah (VPUAS) dan posisioutstanding Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (OSWBI). Berdasarkan
pengujian yang menggunakan metode Vector
Autoregression (VAR) ternyata variabel INF mempunyai pengaruh positif
terhadap variabel FDR, NPF, VPUAS dan OSWBI. Berikut dijelaskan beberapa
intisari dari hasil pengujian penelitian ini.
Inflasi berpengaruh positif terhadapFinancing to Depocit Ratio (FDR), volume
transaksi Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syariah (VPUAS) dan posisioutstanding Sertifikat Wadi‟ah Bank Indonesia (OSWBI). Meskipun demikian pengaruhnya sangat
kecil, tidak signifikan dan hanya berlangsung dalam jangka pendek saja. Bahkan
variabel-variabel tersebut lebih dipengaruhi oleh kinerjanya di masa lalu.
Tidak signifikannya pengaruh variabel INF terhadap variabel FDR, dan VPUAS
disebabkan masih kecilnya kedudukan perbankan syariah sebagai faktor yang dapat
mempengaruhi peredaran uang di Indonesia.
Konklusi dari hasil penelitian ini
bahwa perilaku perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional. Basis
pendapatan bank konvensional adalah
bunga.Tingkat suku bunga tidak mencerminkan biaya kredit ke sektor riil,
melainkan merupakan cerminan BI rate yang merupakan suku bunga pasar yang
mengakomodir tingkat inflasi.Sehingga terdapat hubungan yang negatif antara
sektor riil dengan sektor moneter. Di saat sektor riil membutuhkan tambahan
dana investasi untuk bisa bertahan atau
melakukan ekspansi di tengah-tengah inflasi, tingkat suku bunga bank konvensional
malah naik seriring kenaikan inflasi. Sedangkan bank syariah, sebagai bank yang
bersentuhan langsung dengan sektor riil, „fee‟
pembiayaan yang dikenakan kepada debitor merupakan cerminan dari
keseimbangan antara penawaran dan permintaan pembiayaan yang sesungguhnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Agung,
Juda, Bambang Kusmiarso, Bambang Pramono, Erwin G. Hutapea, Andry Prasmuko,
Nugroho Joko Prastowo, Credit Crunch di
Indonesia Setelah Krisis: Fakta, Penyebab, dan Implikasi Kebijakan, Jakarta:
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, 2001
Al-Mushlih, Abdullah dan
Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keungan
Islam (terjemahan), Jakarta: Darul Haq, 2004
Antonio, Muhammad Syafi‟i, Bank
Syariah dari Teori ke Praktik,
Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Arsana, I Gede Putra, “Pengaruh Nilai Tukar Terhadap
Aliran Kredit dan Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Jalur Kredit”, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia,
Vol. V, No. 02, 2005 Januari, hal 121-140
Ascarya
(editor), Mencari Solusi Pembiayaan Bagi
Hasil Perbankan Syariah, Jakarta: Bank Indonesia, 2004
---------------
dan Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran
Umum,Jakarta: Bank Indonesia, 2005
Buchori,
Ahmad, “Mengenal PUAS dan SWBI sebagai Piranti Pasar Uang dan Moneter Syariah”,
Wacana, Edisi 2, Agustus 2001
Dewan
Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan
Syariah Nasional,Jakarta: MUI dan BI, 2003
Direktorat
Perbankan Syariah, Laporan Perbankan
Syariah tahun 2005, Jakarta: Bank Indonesia, 2006
Enders,
Walter, Applied Econometric Time Series, New
York: John Wiley and Sons, 1995
English,
William B, “Inflation and Financial Sector Size”, Journal of Monetary Economics, Vol. 44, Tahun 1999, hal. 379-400
Fung, Ben S C, “a VAR model is used to study the
effects of monetary policy shocks in seven East Asian economies”, BIS Working
Papers, No. 119, 2002
Gambacorta, Leonardo, “Bank-specific Characteristics
and Monetary Policy Transmission: The Case of Italy”, ECB Working Paper Series,
2001
Hadad, Muliaman D dkk, “Studi Biaya Intermediasi
Beberapa Bank Besar di Indonesia: Apakah Bunga Kredit Bank Umum Overpriced ?, BI Working Paper, 2003
Heatubun,
S. Donny handoko dkk, Kajian tentang
Instrumen Moneter Pada Perbankan Syariah, PCS-BI Angkatan I Kelompok D.
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, Januari, 2000
Karim, Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta
: IIIT, 2001
------------------, “Bejana Berhubungan Bank Syariah”, Republika, Senin, 31 Mei 2004
Karim,
Yustika T, “Prospek dan Tantangan Perbankan Syariah 2006”, Economic Review Journal, No. 202, Desember 2005
Lewis, K. Mervyn dan Latifa M. Algaoud, Islamic Banking, Northampton: Edward
Elgar Publishing, 2001
Mannan, M.A, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (terj.), Jakarta:
Intermasa, 1992 Miskin, Frederick, The
Economics of Money, Banking and Financial Market, New
York: Addison
Wesley, 2003
Nasution, Anwar, Kumpulan Esay tentang Inflasi, 1997
Nasution, Chairuddin Syah, “Manajemen Kredit Syariah
Bank Muamalat”, http://www.fiskal.depkeu.go.id
Nugroho, Ugie, “Mekanisme PUAB bagi Ekses Dana Pihak
Ketiga Perbankan”, Kompas, Sabtu 3
April 2004.
Rosly, Saiful Azhar, “Mudharabah Interbank
Investment”, The Sun (Malaysia),
Friday, Februari 16, 1996
-----------------------,
“Can Islamic Banks Really Practise Musyarakah”, The Sun
(Malaysia),
Friday. November 25,1994
------------------------,
“Mudharabah and the Role
of Shariah Court”, The Sun
(Malaysia),
Friday, December 2,1994
------------------------,
Islamic Banking and Economic Development”,
The Sun
(Malaysia),
Friday, August 26,1994.
------------------------, “Banking on Leverage”, The Sun (Malaysia), Friday, March 17,1995
-----------------------, “Lending is Indeed Charity”,
The Sun (Malaysia), Friday, November
4, 1994